UU Pornografi Untuk Kepentingan Bangsa
{ Posted on 5:00 AM
by HMI Cabang Kupang
}
UU Pornografi Untuk Kepentingan Bangsa*
Ali Mocthar Ngabalin*
Disampaikan pada kegiatan Diskusi Publik Diskusi Publik HMI Cabang Kupang
6 Desember 2008 bertempat di Aula Utama Eltari
“Kontroversi Undang-Undang Pornografi ; Kajian Kritis Antara Budaya dan Moral”.
Ali Mocthar Ngabalin*
Disampaikan pada kegiatan Diskusi Publik Diskusi Publik HMI Cabang Kupang
6 Desember 2008 bertempat di Aula Utama Eltari
“Kontroversi Undang-Undang Pornografi ; Kajian Kritis Antara Budaya dan Moral”.
Pengantar
Selain nilai positif, dampak buruk globalisasi banyak pula dirasakan, derasnya arus dan akses pornografi ke dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Indonesia adalah hal yang perlu menjadi perhatian. Selama ini, ketentuan hukum yang mengatur pornografi dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU lainnya, terbukti tidak berdaya menjangkau dan menjerat tindak pelanggaran pornografi. Apalagi pornografi yang mudah dan murah di dunia maya berbasis internet.
Bahkan, aktivitas pornografi telah semakin sistimatis dan kapitalistik dalam perkembangannya. Sudah menjadi rahasia umum, siapapun bisa membuktikannya, bahwa pornografi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa menghiraukan batasan usia maupun status sosial lainnya. Dampak pornografi pun telah terbukti, dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang berkembang di masyarakat, salah satu faktor penyebabnya terungkap bahwa sebagian besar pelakunya melakukan hal tersebut karena sering menonton pertunjukan atau melihat gambar pornografi yang mudah diakses.
Definisi Pornografi
Perdebatan soal pornografi mucul ke permukaan tidak hanya karena nilai-nilai seksual yang menarik perhatian, akan tetapi perdebatan itu muncul untuk menentukan makna sebenarnya dari kata prono itu sendiri. Perdebatan kemudian berpura-putar pada sudut pandang objek dan subjek yang selalu saling tidak bersimpul. Sebagai contoh, Nona (nama samaran) mengatakan bahwa wanita bebas menentukan pilihan, bagaimana wanita memanjakan dirinya, bagaimana memilih pakaiannya. Wanita pakai rok mini dan jin ketat adalah haknya, asalkan si pemakai memiliki kepribadian! Kemudian di lanjutkan, sayang yah wanita yang memiliki betis indah, kalau dia tidak berhak menentukan pilihannya. Nona tadi mungkin mewakili struktur masyarakat pragawati, dan apa yang ia katakan adalah pernyataan strukturalnya. Tetapi, bagi masyarakat yang melihat si pemakai rok mini atau jin ketat tersebut akan mengatakan bahwa si pemakai teralu ‘menantang’ dalam berpakaian.
Begitu pula Naek L Tobing yang mengatakan, bahwa rubrik konsultasi seks di media massa akan membawa kebahagiaan bagi pembaca atau klien-klien rubrik tersebut. Namun, di sisi lain pembaca media massa secara umum merasakan bahwa rubrik itu adalah alat pemicu untuk meningkatkan prilaku seks. Perdebatan ini adalah perdebatan laten, yang akan selalu dijumpai kapan saja. Hal tersebut antara lain, disebabkan karena subjektivitas objek dan subjek pelaku selalu dipertentangkan. Sehingga akhirnya akan merekonstruksi nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada subjektivitas masing-masing.
Bagaimanapun, porno itu selalu diterjemahkan secara subjektif menurut konteks nilai yang berlaku di masyakat dan dalam kurun waktu tertentu, maka perdebatan-perdebatan tentang persoalan seks dan hal-hal disekitarnya, pasti di mulai dari pandangan intra-subjektif tentang makna sebenarnya dari porno yang diperdebatkan itu.
Tapi, perdebatan harus menjawab persoalan-persoalan porno berdasarkan konsensus nilai di masyarakat Indonesia mengenai makna porno itu sendiri. Paling tidak harus dapat menjawab dua hal penting, antara lain: Pertama, bahwa porno dapat menggeser konseptualisasi seks secara normatif, dimana seks sebagai ‘sesuatu yang sakral menjadi seks yang difahami sebagai komoditas’. Kedua, eksploitasi seks dalam berbagai aspek akan mengundang syahwat bagi lawan jenis, sehingga porno tidak dapat dihindari. Kedua aspek tersebut dapat membawa masyarakat pada konsekwensi prilaku seks menyimpang di masyarakat. Dan, karena itu kedua aspek tadi di pandang bertentangan dengan konsensus nilai-nilai seksualitas masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, maka konsep porno bersifat subjektif, dan bahkan intra-subjektif, dimana subjektifitas individu satu dengan yang lainnya membentuk konsep seks normatif, walaupun akhirnya konsep ini selalu berubah berdasakan derasnya perubahan yang terjadi di masyarakat.
UU Pornografi adalah konsensus masyarakat Indonesia terhadap pengertian pornografi dan segala seluk-beluknya. Di dalamnya tentu telah mengakomodasi berbagai aspirasi berbagai kelompok kepentingan. Kita sadar bangsa ini adalah bangsa yang multi kultural dan multi etnis. Tidak mungkin satu undang-undang diperuntukan hanya untuk sebagian kelompok, karena negara kita menganut sistem negara kesatuan, bukan negara distrik atau federal. Jadi tidak tepat kalau dikatakan bahwa UU Pornografi gagal menjamin kebinekaan? Apakah yang dimaksud kebinekaan disini? Apakah setiap kelompok masyarakat Indonesia perlu memiliki undang-undangan secara onotom yang mengatur soal pornografi? Lalu dimana fungsi Negara Kesatuan?
Pornografi di Dunia Maya
Pelanggaran norma susila di era teknologi dewasa ini yang paling terbanyak dijumpai adalah pelanggaran norna-norma seksualitas dan pornografi di dunia maya. Mau coba? Jalan-jalan ke yahoo.com, di sana akan ditemukan berbagai macam situs yang dapat dengan leluasa dimasuki, dalam situs-situs itu beragam jumlahnya--bahkan telah diklasifikasi dengan jelas berdasarkan jenis kepentingan.Misalnya, kalau kita ingin masuk dalam situs seks yahoo.com, maka dipersilakan memilih situs majalah, jurnal, buku, atau meneruskan ke website lain yang kebetulan konek dengan yahoo.com. Sebenarnya di yahoo.com kita bisa dapatkan apa saja, selain situs-situs erotik dan seks, tergantung apa yang ingin kita dapatkan, karena yahoo.com adalah provider dan supermarket raksasa dunia yang sangat populer dan terlengkap di dunia internet.
Selain yahoo.com ada ratusan bahkan ribuan wibsite yang sama atau mirip dengan yahoo.com ini, sebut saja beberapa yang terkenal di Indonesia seperti geogle.com, msn.com, nescafe.com, amazon.com, mailcity.com, hotmail.com, plaza.com, radnet.com. indonet.com, telkomnet.com, tempo.com, jawapos.com, satunet.com, astaga.com, detik.com dan sebagainya. Dan karena begitu murah membuat website di internet, maka website-website itu terus bertambah setiap hari.
Pelanggaran norma seks dan pornografi dalam masyarakat maya terjadi dalam skala yang tidak dapat diatasi, baik melalui penutupan jaringan-jaringan seks dan pornografi, sampai pada tingkat kebijakan. Kesulitan ini mucul karena jaringan (pintu) yang dapat mengakses seks dan pornografi begitu banyak dan luas. Pertanyaannya dari mana kita menutup jaringan-jaringan itu. Kesulitan lain, karena ternyata provider dan website juga secara langsung atau tidak, menghidupi diri mereka dan meraup keuntungan materi yang begitu banyak dari situs-situs seks dan pornografi. Sebagai contoh, di internet juga ada ratusan website yang secara spesifik menjual gambar-gambar erotik dan informasi porno. Ada yang free, namun ada yang harus membayar atau ikut member di website tersebut., contohnya http//www.playboy.com, http//www.sex.com, http//www.asiasex.com, http//www.whitehouse.com, dan sebagainya. Dan dari situs-situs itu kita juga bisa masuk kemana saja karena biasanya ada link akses yang dibuat untuk mempemudah netter menelusuri situs-situs yang diperlukan. Kita tinggal memilih gambar erotik apa saja, orang Asia, seperti jepang, Cina, Malaysia, Hongkong, Singapura, Filipina, dan Indonesia.
Sebelum booming porno di dunia maya, fenomena seks di media cetak juga tak kalau hebohnya. Apalagi di media cetak, bagaikan semut dengan gula, laris manis di sambut masyaraat. Buku-buku seperti Jakarta Undercaver, Sex in the Cost, Sex in Campus, pemerkosaan atas nama Cinta, Seks dan Kekuasaan, dan semacamnya – itu semua menghiasi conter-conter buku terlaris di toko-toko buku di kota-kota besar, beberapa diantaranya mereka justru cetak ulang berkali-kali, sebuah prestesi yang luar biasa bagi dunia penerbitan kita.
Kelahiran UU Pornografi yang sudah mulai diwacanakan sejak sepuluh tahun lalu, konteksnya sangat kuat. Apalagi ada persepsi bahwa meningkatknya kebebasan berekspresi di era reformasi telah bermuara pada maraknya pornografi dan penayangan secara terbuka hal-hal yang berbau seksual di media, hiburan dan tayangan iklan.Terbebasnya pengekangan pers yang keras semasa Orde Baru telah membuka jalan bagi bermunculannya koran, tabloid dan majalah baru, sementara media baru seperti VCD/DVD dan internet juga telah membuat materi yang jelas-jelas berbau seksual dengan mudah diperoleh seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ada banyak kerisauan dari sebagian besar masyarakat Indonesia, karena melihat hal-hal di atas sebagai fenomena penurunan moral publik. Salah satunya adalah fenomena penyanyi dangdut Inul Daratista yang terkenal dengan goyangan erotisnya, yang menuai kecaman, bahkan lebih dari itu. Tidak lama kemudian muncul pula penerbitan majalah Amerika ‘Playboy’ versi Indonesia pada Januari 2006. Majalah ini edisi lokal yang isinya mungkin kurang sensual dibanding aslinya, namun diserang sebagai ujung tombak penghancuran moral yang bersumber dari barat, “merek dagang pornografi global” kata Hasyim Muzadi, ketua PB NU.
Pasal-pasal kontroversial?
Undang-undang pornografi yang disahkan DPR RI pada 30 oktober 2008, terdiri dari 8 bab 45 pasal dengan lampiran penjelasan pasal per-pasal. Berdasarkan berbagai tanggapan masyarakat, ditemukan beberapa pasal yang menimbulkan kontroversial. Ada beberapa hal yang ingin kami jelaskan secara singkat, antara lain:
Pasal 1 ayat (1) soal definisi pornografi, berbunyi: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”
Definisi ini dinilai masih kabur oleh banyak kalangan. Seni petunjukan atau lukisan dipandang sangat rentan dituduh melanggar pasal ini. Penilaian ini kurang tepat, karena UU pornografi sesungguhnya secara tegas telah meyebutkan bahwa sesuatu dapat dikategorikan pornografi apabila di dalamnya terdapat 3 unsur, yaitu: kecabulan, eksploitasi seksual, dan melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Dengan kata lain, larangan UU pornografi ini hanya ditujukan pada pornografi yang pengertiannya tidak mencakup tradisi budaya dan adat istiadat, termasuk seni pertunjukan ataupun lukisan.
Adapun tujuan UU ini sesuai dengan pasal 3 ayat (b) salah satunya adalah: “Menghormati, melindungi dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.”
Pasal lain, yang menimbulkan kontroversi yakni pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 4 ayat (1) antara lain berbunyi, “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, meperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat, antara lain:(a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; (b) kekerasan seksual; (c) masturbasi atau onani; (d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, (e) alat kelamin; atau (f) pornografi anak.”
Selanjutnya, pada ayat (2) berbunyi antara lain:“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: (a) menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; (b) menyajikan secara eksplisit alat kelamin; (c) mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual, atau (d) menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Definisi tentang mengesankan ketelanjangan pasal 4 ini dinilai tidak jelas dan menimbulkan tafsir subjektif. Padahal di dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) diterangkan secara lugas, bahwa yang dimaksud dengan mengesankan ketelanjangan adalah suatu kondisi dimana seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakan alat kelamin secara eksplisit. Motif expose yang menjadi masalah, karena itu berarti unsur kesengajaan yang kuat melekat pada pelaku.
Dengan demikian UU Pornografi sesungguhnya tidak melarang sesorang untuk membuat pornografi sepanjang hal itu untuk kepentingan dirinya, dan tidak disebarluaskan kepada orang lain. Dan, negara pada hakikatnya tetap menjamin kebebasan setiap warga negaranya, tetapi pada sisi lain kebebasan tersebut dibatasi untuk kepentingan orang lain.
Kemudian pasal 5 berbunyi, “Setiap orang dilarang meminjam atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1). Definisi pasal ini dianggap oleh sebagian kalangan rentan digunakan negara untuk mengirim siapapun ke penjara karena dapat di tuduh, misalnya mengambil foto dari internet yang mengesankan ketelanjangan.
Terkait dengan penjelasan mengenai kontroversi pasal 4 itu, pasal 5 secara tegas melarang bentuk pornografi yang ada dalam pasal 4 ayat (1) huruf (a) sampai dengan (f) untuk dipinjamkan ataupun diunduh. Apabila perbuatan meminjamkan ataupun mengunduh karya-karya foto pornografi dan sebagainya dari internet diperbolehkan, hal itu dikhawatirkan justru akan membut penyebarluasan dan penggunaan materi pornografi merebak kembali di tengah-tengah masyarakat.
Pasal lainnya, pasal 10 yang berbunyi,“Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan di muka umum yang menggambarkan ketelanjngan, eksploitasi seksual, persenggmaan atau yang bermuatan pornografi lainnya. Definisi yang menyangkut istilah eksploitasi seksual, bermuatan pornografi lainnya ini oleh sebagian pihak dinilai tidak jelas dan mengandung tafsir subjektif.
Padahal tegas-tagas dalam bagian penjelasan pasal 4 ayat (1) yang dimaksud dengan mengesankan ketelanjangan adalah suatau kondisi seseorang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 disebutkan bahwa yang dimaksud bermuatan pornografi lainnya, antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.
Sekali lagi di tegaskan, bahwa dalam UU Pornografi ini seseroang tidak dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan di muka umum sepanjang tidak menunjukkan kecabuan atau eksploitasi seksual yang jelas-jelas melanggar norma kesusilaan masyarakat.
Kemudian pasal 20 berbunyi, masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi.” Pasal ini dianggap sangat berbahaya karena berpotensi memberikan peluang kepada siapapun atas nama memerangi pornografi, untuk bertindak main hakim sendiri.
Anggapan itu sama sekali tidak tepat, karena sebenarnya pasal 20 tersebut tidak berdiri sendri, tetapi terkait dengan pasal 21 yang beerbunyi: (1) Peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: (a) melaporkan palanggaran undang-undang ini, (b) melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan, (c) melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi, dan (d) melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi..
Peran serta masyarakat itu hanya sebatas melaporkan palanggaran UU pornografi, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Peran serta tidak boleh ditafsirkan semena-mena.
Terlepas dari pandangan pro-kontra yang berkembang di masyarakat, kehadiran UU pornografi ini—disamping keberadaan UU lain yang sudah ada (KUHP, UU Pers, UU Penyiaran, UU Perfilman, UU Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) harus dipandang upaya serius dari semua kalangan, bukan hanya pemerintah yang masih kita tunggu segera mengeluarkan PP yang bermakna political –will pemerintah yang baik untuk melindungi warganya dari ancaman pornografi global, terutama terhadap anak-anal dan kaum perempuan.
Penutup
Kami sangat menghargai semua pihak yang telah berperan aktif serta berupaya memberikan kontribusi positif atas kelahiran UU Pornografi ini, tak terkecuali mereka yang masih menyisakan pertanyaan, atau bahkan kekecewaan sekalipun. Di era demokrasi seperti sekarang ini, semua kita belajar berdemokrasi dengan sepenuh tanggungjawab. Dengan harapan demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi yang beradab. Sehingga apapun perbedaan kita, kita tetap saling menghormati. Tetapi, tatkala keputusan politik telah kita lakukan, maka undang-undang apapun yang telah kita hasilkan, seharusnya menjadi tanggtungjawab bersama. Sesuai dengan asas bahwa, negara kita adalah negara hukum, maka setiap warga negara terikat dengan ketentuan, hukum, dan perundang-undangan yang telah ditetapkan, tanpa kecuali.
Proses pengalaman kita dalam berdemokrasi harus diakui masih tergolong singkat, karenanya sikap kedewasaan dan rasa kenegarawanan kita masih harus diuji oleh waktu yang panjang, untuk dapat melahirkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, semoga!
Terima kasih.
Wassalam...