HMI Cabang Kupang Gelar Aksi Damai

{ Posted on 3:55 AM by HMI Cabang Kupang }
HMI Cabang Kupang Gelar Aksi Damai

Dalam rangka perayaan Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 62 yang jatuh pada tanggal 5 Februari 2009, Pengurus Besar HMI (PB HMI) menginstruksikan seluruh HMI Cabang se-indonesia untuk melaksanakan aksi secara serentak pada tanggal 5 februari. Aksi ini membawa sebuah tema besar HMI BERGERAK, Maklumat HMI, untuk Indonesia yang lebih baik. Pengurus HMI Cabang Kupang, sebagai bagian integral ditubuh himpunan, kemudian turut melakukan aksi damai itu. Aksi tersebut diawali dengan Longmarch yang mengambil start di seputaran POLDA NTT dan mengambil jalur melewati area pertokoan Kuanino dan finish di Halte - Kamp. Solor. Aksi yang diikuti segenap kader HMI Cabang Kupang ini, tentunya mendapat apresiasi yang besar dari warga kota Kupang, ini terlihat dari antusiasnya warga kota Kupang menyaksikan aksi tersebut berlangsung dan dengan seriusnya mendengar orasi yang secara bergantian disuarakan oleh pengurus HMI Cabang Kupang dan anggota himpunan lainnya. Aksi yang dimulai pukul 10.00 hingga 13.00 wita ini mengorasikan banyak ide-ide pemikiran kader HMI, dalam kerangka turut membangun negeri ini. Banyak masalah-masalah kebangsaan dan kedaerahan yang kemudian terurai dengan logisnya. Orasi yang disuarakan juga mengandung ide-ide solutif dalam memecahkan permasalahan tersebut. Ini adalah sebuah langkah nyata himpunan ini dalam menjawab tantangan sebagai kader umat kader bangsa.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua umum HMI Cabang Kupang menyempatkan untuk membaca dengan lantang isi maklumat HMI. Sebuah Maklumat untuk Indonesia yang lebih baik.


MAKLUMAT HMI

Keprihatinan atas kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak kunjung mencapai masyarakat adil makmur, maka dalam rangka memperingati Dies Natalis HMI ke-62, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), melalui HMI Bergerak menegaskan MAKLUMAT untuk Indonesia yang lebih baik.
1. Bergerak membangun karakter dan kedaulatan bangsa
Rapuhnya karakter bangsa, membuat Indonesia kehilangan “jati diri” dalam mengelola dan mengembangkan kehidupan masyarakat bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Lepasnya pulau sipadan dan ligitan, terjarahnya hak cipta anak-anak bangsa, redupnya prestasi olahraga di pentas internasional, hilangnya rasa percaya antar anak bangsa, amoralnya prilaku politisi (korup), dll, membuat kami menganggap penting dan mendasar untuk kembali merujuk dan mengangkat entitas “kedaulatan dan kemartabatan bangsa”, minimal dalam empat kategori berikut :
a. Kedaulatan konstitusional
Kedaulatan dalam penyusunan produk perundang-undangan termasuk amandemen UUD 1945 harus lepas dari kepentingan dan intervensi asing. Sehingga peraturan perundang-undangan yang dilahirkan sepenuhnya disemangati ruh jati diri kebangsaan yang mengabdi pada kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
b. Kedaulatan ekonomi
Problem kemiskinan yang terus menunjukkan trend menarik ditengah pertumbuhan ekonomi, menandakan tidak terjadinya distribusi pendapatan yang merata. Kenyataan ini menegaskan bahwa “kedaulatan ekonomi” belum dimiliki oleh rakyat, hanya milik segelintir pemilik modal dan elite politik. Maka upaya revolusioner untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada rakyat, harus dilakukan dengan menelorkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat secara eksponensial dan melepaskan ketergantungan ekonomi pada pihak luar negeri (asing)
c. Kedaulatan Teritorial
Kedaulatan teritorial berarti kendali sepenuhnya atas wilayah RI beserta kekayaan alam didalamnya. Keutuhan teritorial merupakan ukuran yang paling nyata dan sederhana dari kedaulatan suatu bangsa. Disinilah pentingnya internalisasi pada seluruh komponen bangsa, tentang batas Negara, pola pikir (mindset), budaya dan ideology negara, sebagai sebuah eksistensi yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
d. Kedaulatan pengelolaan sumberdaya alam
Kekayaan alam Indonesia, harus dikelola secara proporsional dan berkelanjutan untuk dijadikan sebagai salah satu basis dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Banyaknya pihak asing yang menangguk keuntungan dari kekayaan sumber daya alam tersebut, baik dalam bentuk investasi maupun dengan mempengaruhi regulasi, merupakan problem dasar pengelolaan sumber daya alam yang harus diselesaikan sesegera mungkin.
2. Bergerak memperkokoh persatuan dalam keragaman
Bangsa dilahirkan oleh keinginan untuk hidup bersama, dalam satu ikatan batin yang dipersatukan karena kesamaan penderitaan dan cita-cita. Pemahaman nasionalisme secara generic seperti ini belum dapat menjawab tantangan akan pudarnya eksistensi negeri bangsa (narion-state) di era globalisasi. Geneologi bangsa yang lahir dari keseragaman memang amat dekat dengan kebisingan dan konflik. Maka dibutuhkan formula baru bagi persatuan didalam keragaman di tengah globalisasi, yang dirajut diatas, semangat gotongroyong, toleransi, keadilan, dan penghargaan yang layak pada spirit lokalitas dan kewilayahan.
3. Bergerak menata demokrasi yang berkhidmat pada kebijaksanaan
Pilihan system demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada beberapa kondisi yang bersifat factual, telah meretas efek negative berupa frustasi, karena luasnya jarak antara demokrasi dengan cita-cita masyarakat sejahtera. Untuk itu, demokrasi Indonesia harus digerakkan diatas jalannya sendiri, yang dibentuk/diretas dari akar budaya dan kesejarahan bangsa Indonesia. Bukan demokrasi “tiruan” sebagaimana fenomena yang mengemuka saat ini.
Jalan baru bagi demokrasi Indonesia harus disusun diatas kondisi tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat Indonesia yang relative masih rendah, keragaman budaya dan agama, geografis dan sejarah praktek demokrasi yang telah kita jalani selama masa perjuangan hingga 63 tahun Indonesia merdeka. Penelusuran pada factor-faktor tersebut niscaya akan menghasilkan system dan praktek berdemokrasi yang khas Indonesia tanpa melupakan pijakannya pada nilai-nilai kebajikan universal seperti keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia, kesejahteraan dan lain-lain.
4. Pemilu 2009 dan kepemimpinan efektif, bersih dan berwibawa.
Pemilihan umum 2009, merupakan momentum strategis untuk melihat dan mengevaluas kualitas demokrasi dan pemerintahan Indonesia untuk dasawarsa kedua pasca reformasi. Untuk itu, Pemilu 2009 harus dikawal tidak semata sebagai prosedur demokrasi, melainkan dalam semangat pembumian nilai-nilai substansi demokrasi seperti keadilan, kesetaraan, kompetisi yang sehat, dll. Dan untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, tentu dibutuhkan penyelenggara pemilu yang independent dan fair, kontestan yang beretika dan taat aturan main, media massa yang sehat dan obyektif, serta pemilih yang cerdas.
Adapun kepemimpinan nasional yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang efektif, bersih dan berwibawa serta mampu bekerja dan menggerakkan kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kebaikan hidup bersama sebagai masyarakat bangsa, yang lahir dari rekam jejak dan keunggulan program.Bukan dari citra dan popularitas yang sarat rekayasa dan manipulasi.


REFLEKSI DIES NATALIS HMI KE- 62

{ Posted on 5:49 AM by HMI Cabang Kupang }
REFLEKSI
DIES NATALIS HMI KE- 62
HMI, JALAN BARU MENUJU INDONESIA SEJAHTERA..!!!
HMI CABANG KUPANG BANGKIT;
Meretas Kejumudan Berfikir, Melintasi Keragaman,
Mewujudkan Generasi Qur’aini/Insan Cita
Abduh Hamid*

IFTITAH
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang di pelopori pendiriannya pada tanggal 05 pebruari 1947 oleh Prof Lafran Pane dkk, tepatnya dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Negara kesatuan repubik Indonesia. Masyarakat diseluruh pelosok nusantara menyatakan sikap dan tekat sebagai sebuah bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Ditengah kondisi bangsa yang sedang bergelora dalam sebuah fase revolusi fisik waktu itu, HMI senantiasa diperhadapkan pada dua problem dasar yaitu mempertahankan kemerdekaan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Problem inilah yang menginspirasi para founding father kita untuk menghimpun para pemuda/mahasiswa Islam berjuang berdasarkan nilai-nilai Islam bersama komponen bangsa lainya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sejak awal didirikan, HMI secara tegas membuktikan dua komitmen, yaitu; Pertama “Komitmen Keislaman/Keumatan” berupa memperjuangkan syiar agama Islam serta aspirasi dan kepentingan umat. Komitmen yang kedua “Komitmen Keindonesiaan/Kebangsaan” yaitu memperjuangkan harkat dan martabat rakyat Indonesia serta menolak upaya – upaya bangsa penjajah yang berusaha menjajah kembali bangsa kita. kemudian selanjutnya kita mendeklarasikan diri sebagai “Kader Umat”– “Kader Bangsa”. Dengan melihat sebaran potensi, kompetensi serta integritas kader - kader himpunan yang memiliki semangat dimasa depan dan tingginya Komitmen Kebangsaan, inilah yang oleh Panglima Besar Jendral Sudirman menyatakan bahwa HMI tidak sekedar Himpunan Mahasiswa Islam tetapi HMI adalah harapan Masyarakat Indonesia Sebagai organisasi yang menghimpun generasi muda Islam “Kader Umat” maka corak Keislaman HMI adalah moderat. Nilai-nilai Islam yang dituangkan dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI –yang dikompilasi oleh Nurcholish Madjid (almarhum), Endang Saifuddin Anshari (almarhum) dan Sakib Mahmud–, mengetengahkan Islam secara substansial, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, antara lain: Tauhid/Keesaan Tuhan, Universalitas Islam, Islam yang inklusif, Islam yang dialogis, Kemanusiaan/persaudaraan universal, Islam sejalan dengan modernitas/progresifitas dan demokrasi, Islam yang tidak ekstrim (ummatan wasathan/umat yang mampu berdiri di tengah-tengah); dan Islam yang toleran. Intinya, HMI hendak membawakan suatu wajah Islam yang modern/maju, toleran, dan tidak ekstrim, yang dikedepankan dan diperjuangkan oleh HMI adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai keberislaman semacam itu. Sebagaimana dikemukakan oleh almarhum Nurcholish Madjid, NDP HMI lebih terfokus pada upaya mengetengahkan Islam secara substansial. Bukan pada aspek legal-formal. Oleh sebab itulah, HMI tidak menghendaki formalisasi hukum (syariat) Islam, melainkan bagaimana menanamkan nilai-nilai (substansi) ajaran Islam itu di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural atau majemuk (sebagaimana dikatakan almarhum Nurcholish Madjid ibarat “taman sari” ini.
Di sisi lain, komitmen kebangsaan/Keindonesiaan HMI diwujudkan dalam berbagai peran nyata dalam mengisi kemerdekaan dengan ikut serta menjadi bagian intergral dari proses-proses pembangunan, dan proses-proses kebangsaan lainnya. Sebagai “sumber insani pembangunan”, maka insan-insan HMI diharapkan menjadi pelopor atau penggerak pembangunan bangsa di segala bidang. Oleh sebab itulah kader-kader HMI dituntut untuk mampu tidak saja memahami secara baik atas berbagai permasalahan pembangunan dan permasalahan bangsa secara luas, tetapi juga diharapkan mampu untuk berbuat sesuatu secara konstruktif, agar tidak terjadi stagnasi kesadaran masyarakat dalam upaya perwujudan pembangunan “Masyarakat Cita”, serta mengupayakan berbagai hal guna kemajuan dan kemandirian bangsa demi terwujudnya Masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT (Masyarakat Madani).
Untuk mewujudkan masyarakat Cita/Madani, maka kiranya penting bagi kita untuk senantiasa concern menata kemandirian ekonomi. Jika melihat dengan menggunakan kaca mata oposisi biner sambil mengintrodusir perkataan Karl Mars dalam teori ketergantungan kelasnya bahwa “ Semakin tinggi tingkat ketergantungan kaum proletar terhadap kaum borjuis maka akan melahirkan konsekuensi logis berupa semakin besar otoritas/kekuasaan kaum borjuis dalam mengintervensi setiap kedaulatan, keinginan dan kebutuhan kaum proletar”. Sehingga jelas bagi kita bahwa “akan hilang kedaulatan bangsa ini baik secara ideologi politik, hukum, maupun sosial - budaya serta pertahanan wilayah dan keamanan sosial sebagai bangsa yang benar-benar merdeka dan bermartabat jika bangsa kita tidak secara serius menata kemandirian dan kemerdekaan ekonomi kita” untuk itu lewat peristiwa yang bersejarah ini, sebagai “warga himpunan” dan merupakan bagian integral dari elemen bangsa ini, kita senantiasa tetap genuine mencairkan dan meretas kejumudan - kejumudan ekonomi serta mencari alternatif solution untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan, himpitan ekonomi yang kian hari terasa makin mencekik.
Untuk itu, dengan semangat idealisme dan kesadaran kebangsaan kita yang masih tersisah, serta dengan sedikit “bekal kesadaran intelektual”, lewat momentum Dies Natalis HMI Ke-62 ini, sebagai organisasi yang berstatus mahasiswa, berfungsi sebagai organisasi kader, serta berperan sebagai organisasi perjuangan maka rahim perkaderan HMI, semestinya dapat mengkonstruk watak serta karakter kader baik dalam berpikir, bersikap maupun berprilaku dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan universal, itu harus secara keseluruhan dapat teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap kader himpunan yang senantiasa cenderung kepada nilai kebenaran (hanief), Bebas, terbuka dan merdeka (independen), kritis, rasional serta obyektif, dan juga harus senatiasa progresif, dinamis, demokratis, jujur, dan adil.
Kiranya ada beberapa hal yang perlu kita refleksikan secara mendalam_mendapat perhatian serius bagi setiap kita sebagai kader umat – kader bangsa untuk senantiasa menjaga dan me_maintenance “Aura Intelektual dan Spiritualitas”, agar “fitrah Kemanusiaan” kita sebagai generasi muda yang kritis dan sadar akan nasib dan masa depan negeri ini senatiasa tetap terjaga.
Hadirin Sekalian Yang Berbahagia
Tidak bisa dinafikan bahwa, pada era reformasi ini, bangsa Indonesia masih berada dalam kondisi yang belum sepenuhnya pulih dari kondisi multikrisis, khususnya krisis ekonomi. Berbagai indikator ekonomi, seperti: tingkat pertumbuhan, investasi, daya saing nasional, masih berkisar pada angka yang rendah; sementara tingkat pengangguran dan kemiskinan menunjukkan kecenderungan semakin naik. Tentu saja banyak pekerjaan rumah serius dalam rangka memulihkan kembali krisis ekonomi dan krisis-krisis lain.
Namun demikian, kita tidak boleh terjebak pada sikap yang pesimis, sebaiknya dengan langkah dan upaya yang sungguh-sungguh dari segenap elemen bangsa untuk “memperbaiki keadaan’, maka optimisme lah yang kita tanamkan. Masa depan Indonesia adalah milik kita, milik generasi kita sekarang.
Guna melihat Indonesia ke depan, maka kita harus senantiasa mengamati kecenderungan-kecenderungan mutakhir, tidak saja di level lokal dan nasional, tetapi juga yang ada di level global/internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita sekarang berada di era globalisasi. Era ini ditandai dengan semakin menipisnya jarak/batas antar-satu negara dengan negara lain, akibat terbuka dan pesatnya perkembangan teknologi informasi/telekomunikasi. Di dalam konteks ekonomi misalnya, kecenderungan yang terjadi adalah pasar bebas atau liberalisasi pasar (market liberalization) –di mana satu negara tidak dapat menutup diri dari aktivitas liberalisasi pasar, sebagaimana diatur oleh World Trade Organization (WTO). Ke depan, kita juga akan dihadapkan oleh perkembangan teknologi yang kian pesat. Dan tentu saja semua itu, akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang lebih kompleks dan menantang.
Selain kecenderungan-kecenderungan di atas, tercatat juga berbagai permasalahan yang akan tetap berlanjut di masa yang akan datang. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi permasalahan ekonomi dan non-ekonomi. Di bidang ekonomi, ditandai oleh kompetisi ekonomi yang kian tajam. Selain dibutuhkan kualitas SDM yang andal, produk yang bermutu/berkualitas, juga dibutuhkan kecerdasan pemerintah dalam melakukan regulasi - regulasi ekonomi yang mampu melindungi kalangan usaha mikro, kecil dan menengah (kalangan enterpreuner), sekaligus meningkatkan daya saing mereka di tataran global.
Di bidang non-ekonomi, kompleksitas permasalahan di masa yang akan datang juga cenderung lebih kompleks dibanding dengan apa yang terjadi saat ini – terutama, apabila permasalahan-permasalahan yang ada saat ini tidak tertangani dengan baik. Dalam konteks ini, adakalanya terdapat beberapa kesamaan permasalahan yang ada di level daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan level nasional, kawasan regional, maupun internasional; seperti misalnya permasalahan yang terkait dengan konteks keamanan internasional, yang ditandai dengan hadirnya fenomena terorisme internasional. Di sisi lain, juga terdapat permasalahan-permasalahan yang bersifat spesifik di level daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan level nasional yang tak kalah seriusnya.
Di sisi lain Indonesia sebagai nation-state (negara-bangsa) juga menghadapi permasalahan terkait dengan disintegrasi bangsa. Asumsi yang mengemuka adalah: apabila proses pemulihan multikrisis berjalan dengan baik, pembangunan berjalan kembali di segala bidang secara maju dan berkeadilan, maka proses/gejala disintegrasi bangsa akan turut berkurang; dan sebaliknya integrasi bangsa makin kokoh. Tetapi apabila proses pemulihan multikrisis berlarut-larut, Indonesia semakin terpuruk di dalam kondisi yang memprihatinkan, maka proses disintegrasi tersebut, bukan tidak mungkin akan mengalami percepatan.
Namun demikian, kita pantas bersyukur bahwa etos nasionalisme bangsa Indonesia, tidak sepenuhnya ikut tenggelam bersama dengan realitas multikrisis yang ada. Dengan modal dasar nasionalisme tersebut, diharapkan segenap komponen bangsa mampu menepiskan kecenderungan-kecenderungan primordial dan sektarian, dan tetap memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi. Bagaimanapun, kita harus gali dan kembangkan berbagai modal sosial (social capital) yang ada dalam masyarakat, agar jangan sampai bangsa yang demikian plural ini mengalami kondisi yang “tidak percaya satu sama lain”, atau apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai “low trust society”. Persatuan dan kesatuan bangsa terkait dengan konteks kohesivitas masyarakat yang plural ini, ke depan kohesivitas tersebut harus senantiasa tetap terjaga.
Guna menghadapi kecenderungan kompleksitas permasalahan Indonesia masa depan, maka setiap level struktural, baik level pemerintah (negara) maupun masyarakat, harus memiliki kesiapan dan strategi yang baik. Di level pemerintah/negara, harus semakin mampu mengaksentuasikan atau mengedepankan terciptanya kebijakan-kebijakan segala sektor/bidang kehidupan yang betul-betul mencerminkan atau derivasi dari kepentingan-kepentingan nasional (national interest) yang ada. Jangan sampai negara gagal merumuskan dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik yang justru merugikan dan memunculkan efek marjinalisasi masyarakat, dari gejolak liberalisasi pasar yang tak kenal ampun. Negara harus mampu hadir dan berpihak pada kepentingan nasional dan melindungi segenap masyarakat indonesia.
Dengan kata lain, negara harus cerdas (smart state), tidak mau didikte oleh kepentingan asing dan mengorbankan kepentingan nasional, hal ini tidak saja terkait dengan konteks kedaulatan dan harga diri bangsa, tetapi juga betul-betul melindungi masyarakat dari konteks persaingan global yang “tanpa pandang bulu”. Negara harus secara aktif merespons perkembangan pasar, agar liberalisasi pasar tidak memarjinalisasikan atau meminggirkan segenap potensi dan pelaku ekonomi kita, baik di level daerah maupun nasional.
Sebuah kebijakan publik yang baik dan tepat, bagaimanapun tidak dapat dilepaskan dari kualitas dan “keberanian” kepemimpinan yang memiliki otoritas publik. Sebuah negara yang cerdas, ialah yang mampu memadukan berbagai masukan yang ada, untuk merumuskan suatu regulasi/kebijakan dalam rangka mengupayakan berbagai kepentingan nasional secara optimal. Di sisi lain, negara cerdas, juga mampu merumuskan kebijakan-kebijakan dalam rangka menumbuhkan kondisi yang kondusif bagi hadirnya SDM Indonesia yang berkualitas dan memiliki visi masa depan.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Mencermati realitas kebangsaan dan keumatan sedemikian kompleks, maka yang utama harus dilakukan oleh HMI adalah melakukan penguatan perkaderan yang dilakukan secara komprehensif dan mampu menjawab tantangan zaman yang kian kompleks. HMI harus back to campus, dalam arti memperkuat basis-basis perkaderannya di kampus-kampus. HMI harus kembali mewarnai kehidupan dunia kemahasiswaan kita di kampus-kampus. HMI harus mempertegas kembali corak intelektualitasnya sebagai organisasi mahasiswa atau kalangan yang terpelajar.
Perkederan ini penting mengingat kontinuitas perjuangan dan implementasi visi dan misi HMI amat penting dan mendasar. Di sisi lain HMI harus tetap menjadi organisasi mahasiswa yang independen, yang harus senantiasa kritis terhadap berbagai perkembangan eksternalnya. Kritisisme merupakan satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, dan memang itulah ciri utama organisasi kemahasiswaan yang mengedepankan idealisme dan memiliki kepentingan jangka panjang.
HMI sebagai bagian dari umat dan bangsa dituntut untuk ikut bertanggungjawab dalam proses keumatan dan kebangsaan. Jangan sampai kita, para kader HMI terjebak hanya pada permasalahan-permasalahan jangka pendek dan tidak strategis, tidak produktif dan cenderung destruktif; padahal tantangan umat dan bangsa semakin kompleks dan akumulatif.
Segenap kader HMI harus mampu mengidentifikasi dan merumuskan berbagai jawaban atas tantangan-tantangan yang ada; berorientasi jangka panjang, senantiasa meningkatkan kualitas SDM (dengan penguasaan atas iptek dan memiliki kualitas imtak), sehingga peran para kader HMI betul-betul mampu dirasakan oleh segenap elemen bangsa yang lain. Para kader HMI harus tetap menjadi “manusia pembelajar”, rendah-hati dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan menguasai teknologi, senantiasa cerdas dan mampu berbuat –sekecil apa pun bagi masa depan umat dan bangsa Indonesia secara lebih baik.
Di sisi lain kita, para kader HMI juga di tuntut untuk membawakan Islam sebagai rahmatan ll alamin. Islam yang moderat dan tidak ekstrim. Di tengah-tengah suasana dimana kelompok-kelompok Islam yang cenderung menggunakan cara - cara kekerasan terhadap kelompok lain, maka HMI harus berupaya memelopori wacana dan aksi Islam sebagai agama penuh kedamaian dan cinta kasih, Islam yang anti-kekerasan, Islam yang toleran sebagai cerminan Islam yang ramhatan lil alamin. Ini penting, karena Islam merupakan agama yang tidak mencela pluralitas atau kemajemukan masyarakat. Dalam konteks Keindonesiaan, maka Islam yang penuh kedamaian itulah yang mutlak perlu ditampilkan.
Kepada segenap pengurus, baik pengurus Cabang, Komisariat serta semua “keluarga besar” HMI Cabang Kupang, kiranya lewat refleksi dies natalis HMI ke-62 ini, dengan segala kerendahan hati dan dengan diiringi semangat kolektifitas, saya mengajak kepada saudara-saudara bahwa dalam melaksanakan proses pembelajaran dan pengabdiian kita terhadap himpunan. Lewat “HMI Cabang Kupang Bangkit” hendaknya dalam memantapkan semangat perkaderan, kiranya ada beberapa hal yang harus senantiasa kita konsolidasikan kedepan, diantaranya antara lain sebagai berikut:


1. HMI CABANG KUPANG BANGKIT;
Melakukan Characther Building
Upaya untuk melakukan pembangunan karakter kader himpunan harus dimulai dengan mendekonstruksi paradigma berfikir kader yang cerderung sectarian, materialistik- individualistik, pragmatis, hedonis, instan, skeptis serta terkesan apatis dalam setiap dialektika sebagai keluarga besar insan cita, sehingga lewat proses pencerahan dan transformasi kesadaran ilmu pengetahuan, kader – kader himpunan dapat secara cerdas, radiks, arif dan bijaksana membedakan karakteristik nilai serta corak dari masing - masing struktur berfikir dan sistem ideology, sehingga diharapkan membentuk karakter kader yang benar – benar ideologis - populis, dialogis sehingga diharapkan dapat meminimalisir kecendrungan – kecendrungan tersebut lewat sebuah rekonstruksi paradigma baru dalam menumbuhkan kesadaran baru yang lebih berjiwa Qurani, humanis, universal, toleran, pluralis, opensif/inklusif, serta memiliki sense of social dan solidaritas kemanusiaan demi tercapainya semangat persaudaraan universal antara sesama kader himpunan. Kita berharap ini bisa meminimize kecendrungan arogansi intelektual, egoisme komunal, serta superioritas personal diantara para kader di masing-masing komisariat yang mungkin hari ini ada kader komisariat yang merasa unggul jika disandingkan dengan komisariat yang lain, tetapi perlu disadari bahwa berHMI adalah sebuah bentuk pengejawantahan atau transformasi dari nilai-nilai Qurani, yang terinkluding didalamnya spirit egalitarianisme sosial serta universal brotherhood, sebagai satu kesatuan keluarga besar insan cita yang semestinya saling melengkapi, menghargai, memotivasi serta saling menyeruh pada yang benar dan bukan sebaliknya.
2. Konsolidasi Kesadaran Kader
Sebagai The second university, maka semangat perkaderan kita harus bisa menjawab student needs dan student interest. Untuk itu, semestinya intensitas konsolidasi organisasi dalam rangka membangun animo serta kesadaran kader ber-HMI, yang harus dilakukan oleh segenap pengurus, baik pengurus Cabang - Komisariat maupun terhadap sesama pengurus dan anggota, hendaknya dilandasi oleh semangat Intellectual excersice, Emotional excercise serta Spiritual excercise sehingga orientasi perkaderan serta konstruksi nilai – nilai kekaderan kita senantiasa bermuara pada kualitas insan cita yaitu; kualitas insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernafaskan islam, serta insan yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt (Kualitas Insan Cita), jika ini kita (segenap warga himpunan) dapat melaksanakannya dengan baik maka, saya percaya lapisan perkaderan kita akan semakin kokoh serta terintegrasi didalamnya spirit nilai-nilai kekaderan yang integral dan konperhensif.
3. Penguatan Visi Intelektual Menuju Intelektual Humanis
Jika kita mencoba melakukan historical approach maka fakta sejarah di kaki langit negeri ini membuktikan bahwa “Rahim Perkaderan HMI” dimasa lalu sekitar tahun 70an memiliki tradisi Intelektual, independensi, integritas nilai serta spirit profesionalisme keilmuan yang produktif dan kuat, sehingga terbukti melahirkan kader-kader terbaik atau para pemikir - pemikir besar bangsa ini seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahid, Djohan Efendi, Dawam Rahardjo, Azumardi Azra, Kamarudin Hidayat dll. Semangat intelektualitas dan profesionalisme itu secara genuine teraktualisasi lewat “labotatorium Ide” seperti dengan membentuk komunitas – komunitas berfikir, bengkel - bengkel kajian/diskusi sehingga diharapkan dapat meretas kejumudan berfikir dan ruang transaksi ide, konsep dan gagasan sebagai suatu bentuk perwujudan eksperimentasi dan eksplorasi pemikiran – pemikiran kritis, dinamis – konstruktif itu benar- benar terwujud. HMI sebagai Learning Organisation harus senantiasa tetap terus melakukan Intelectual exercise dengan spirit “mencari tanpa henti” terhadap ilmu pengetahuan,. jika ini secara konsisten dilaksanakan oleh himpunan maka prestasi gemilang di masa lalu berupa tradisi intelektual secara perlahan bisa kita wujudkan kembali, itupun jika kita menginginkan Rahim Perkaderan Hmi Cabang Kupang kelak melahirkan kader-kader yang memiliki karangka berfikir dan struktur ideologi ataupun pemikir – pemikir insani di masa depan.
Akhirnya, besar harapan saya, seraya mengharapkan pada semua keluarga besar himpunan yang hadir, mudah - mudahan HMI tetap kita jaga eksisistensinya, agar selalu tetap eksis, sehingga HMI seperti yang diungkapkan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman bahwa ”tidak hanya sekedar Himpunan Mahasiswa Islam” tetapi HMI akan selalu dan senantiasa intiqomah dan selalu tetap menjadi ”Harapan Umat - Harapan Bangsa”, Harapan Masyarakat Indonesia yang senantiasa selalu Independen, kritis, responsif serta survive, dan terus berkiprah di tengah - tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan, keumatan serta kebangsaan.....Semoga,,,!!!! A m i e n
Selamat ber-Dies Natalis ke -62
Dirgahayu HMI! Bahagia HMI!
HMI Go ahead
Moga tetap selalu menjadi Harapan Masyarakat Indonesia
Bilahittaufiq wal Hidayah,
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




*) Ketua Umum HMI Cabang Kupang 08/09





ADA APA DENGAN RSU W. Z YOHANES KUPANG,???

{ Posted on 5:39 AM by HMI Cabang Kupang }

ADA APA DENGAN RSU W. Z YOHANES KUPANG,???
Abduh Hamid Koli Hobol*

Mungkin ini adalah judul yang tepat untuk mengawali tulisan ini. Bagi kita warga masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya warga kota Kupang. eksistensi rumah sakit umum W.Z Yohanes Kupang tidaklah begitu asing di telinga kita, karena RSU adalah satu-satunya rumah sakit milik pemerintah propinsi NTT yang ada di kota Kupang. Dalam realitasnya sebagai mana kita ketahui bahwa, RSU dari hari ke hari semakin bagus gedung - gedung dan fasilitas medisnya, akan tetapi amat sangat disayangkan jika itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan berbasis kemanusiaan yang menjadi inspirasi dan komitmen awal lahirnya RSU W.Z Yohanes Kupang.
Apa artinya gedung- gedung mewah bertingkat yang bagus dan terkesan begitu elitis, apa gunanya laboratorium medis yang lengkap, banyaknya tenaga medis/karyawan jika miskin fungsi serta buruk dalam memberikan pelayanan kesehatan. Apa manfaatnya obat-obatan yang begitu banyak, fasilitas transportasi yang memadai jika itu harganya meroket serta tidak punya keberpihakan atau tidak dapat memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat Nusa Tenggara Timur (Baca: Pasien Miskin) yang hanya karena kebetulan tidak memiliki uang.
Regulasi yang di tetapkan oleh pemerintah dan pengelola RSU terkesan bisnis, mahal, beroreintasi proviet serta tidak berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang tidak punya uang yang cukup untuk mengaksesnya (Baca: Miskin). Mungkin rumah sakit hanya dipersiapkan khusus bagi orang - orang kaya yang memiliki sejumlah uang, sehingga orang miskin terpaksa tergusur, termarjinalisasi bahkan teralienasai dari realitas ini.
Ada benarnya apa yang di introdusir oleh Eko Prasetyo tentang ‘orang miskin dilarang sakit/berobat dan orang miskin tanpa subsidi”, karena memang hari ini sudah terlalu sangat mahal harga yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah kesehatan. Maka, tidak heran jika pihak RSU W.Z Yohanes menggunakan logika “rumah bordir” untuk memapankan eksistensi dan pelayanannya. Rasionalisasinya adalah “jika ingin mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang baik, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap pasien untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut”. Stratifikasi sosial atau kelas - kelas sosial antara kaya – miskin, punya uang – belum memiliki uang jelas nampak disini. Dari problem tersebut diatas muncul pertanyaan kritis yang harus di jawab oleh setiap kita yang masih memiliki kesadaran serta nurani kemanusiaan; sesungguhnya ada apa dan untuk apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan semua ketimpangan dan ketidakadilan diantara kelas-kelas sosial yang sedang dan akan terjadi pada RSU W.Z Yohanes,? jawabannya karena hari ini kita telah memper-tuhan-kan uang. Uang adalah segala-galannya, bahkan harga diri serta kualitas kemanusiaan kita hari ini sangat ditentukan oleh seberapa banyak uang yang kita miliki. mungkin ini hanyalah sebuah apologi karena sesungguhnya tidak bisa dinafikan bahwa hari ini orang tidak lagi berfikir untuk bagaimana mengasa dan melatih sense of humanity tetapi yang dilatih adalah sekerakahan dan apatisme sosial sehingga membuat kita mengalami “krisis eksistensial” serta “krisis kemanusiaan”.
Adalah sebuah ironi kemanusiaan, ketika kita mendengar kisah kematian Katarina Anunut, balita yang terserang diare sehingga harus berobat dan pada akhirnya meninggal di RSU W. Z Yohanes Kupang, seperti yang dilansir Koran Timor Ekpress pada beberapa edisi yang lalu. Yakobus Anunut ayahnya, yang tengah diselimuti kesedihan mendalam karena kehilangan anaknya. Akibat ketiadaan biaya untuk membayar ambulance milik RSU W.Z Yohanes Kupang yang tarifnya sangat mahal, terpaksa harus berjalan kaki menggendongnya sejauh kurang lebih 8-9 KM menembus pekatnya malam. Saya kira ini adalah sebuah tragedi sekaligus potret buram sejarah kemanusiaan yang telah di torehkan oleh pihak rumah sakit umum W.Z Yohanes Kupang,
Apa artinya biaya ambulance, jika dibandingkan dengan harga dari sebuah rasa kemanusiaan, tetapi itulah aturan yang dibuat demi kemaslahatan bersama di satu sisi, tetapi membunuh rasa berperikemanusiaan disisi yang lain. Kiranya kedepan persoalan ini dapat dibenahi secara serius oleh pihak – pihak terkait dengan pemerintah daerah maupun pihak rumah sakit umum, baik itu pembenahan menyangkut peninjauan kembali tarif atau biaya rumah sakit umum yang terlalu mahal, keramahan petugas, konsistensi dan kualitas pelayanan dalam rangka mewujudkan rumah sakit yang murah tetapi berkualitas di propinsi ini. Karena masyarakat Nusa Tenggara Timur sangat merindukan rumah sakit yang murah tetapi berkualitas. Rumah sakit yang bisa menjawab kebutuhan serta memahami kondisi ekonomi masyarakat. Saya yakin ini bukanlah merupakan sesuatu yang utopis, jika ada political will dari pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan - kebijakan strategis di bidang kesehatan. Kebijakan yang lebih memahami kesulitan dan pro kepada kebutuhan serta kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Kiranya ini mendapat perhatian serius serta refleksi yang mendalam dari pemerintah dan pihak rumah sakit umum demi mewujudkan rumah sakit yang benar - benar bisa menjawab harapan masyarakat nusa tenggara timur…semoga
*) Ketua Umum HMI Cabang Kupang 08/09

KADER HMI, jadilah PEMILIH CERDAS

{ Posted on 5:36 AM by HMI Cabang Kupang }


KADER HMI, jadilah PEMILIH CERDAS
Firmansyah*



Pemilihan umum (Pemilu) 2009 sudah di depan mata. Kurang dari 52 hari lagi pesta demokrasi Indonesia memasuki babak barunya. Walau tahapan pemilu sendiri telah dimulai jauh-jauh hari, Juni 2008. Namun yang pasti nasib bangsa kedepan ada di tangan pemilih yang memberikan hak pilihnya pada 9 April 2009 mendatang.
Perubahan adalah keniscayaan, begitu juga system pemilu Indonesia tahun 2009 ini. Berubahnya cara memberikan suara dari semula system coblos ke system contreng, berharap pemilih Indonesia semakin cerdas. Begitu juga Indonesia keseluruhan, beharap ada perubahan setelah pemilu mendatang.
Tak kalah penting dalam sebuah keniscayaan perubahan pemilu Indonesia 2009 adalah berubahnya sikap politik masyarakat. Dari semula politik tradisional menuju politik modern, dari semula bersikap apatis menuju pemilih yang partisipatoris. Untuk itulah diperlukan suatu gerakan membawa perubahan kecerdasan pada pemilih Indonesia dalam pemilu 2009 mendatang. Agar dapat menjadi titik tolak sebuah perubahan politik kearah lebih subtantif. Essensi pemilih cerdas adalah sebuah keniscayaan perubahan bangsa ini. Cerdas sekarang atau kita pertaruhkan lagi nasib bangsa ini lima tahun kedepan?. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai bagian tak terpisahkan dalam komponen bangsa, mencoba memberikan sebuah pemahaman akan pentingnya arti kecerdasan dalam menentukan sebuah pilihan. Dengan gerakannya yang bernama gerakan pemilih cerdas. HMI mencoba mendobrak dan merubah pemahaman masyarakat dalam menentukan pilihan poliriknya nanti, dimana masyarakat harus cerdas dalam memilih. Demokrasi yang membuka ruang dimana pemilihan pemimpin-pemimpin politik (public leader) dilakukan secara langsung yang kompetitif, mensyaratkan dua hal penting yaitu, Pemilu dan Partai Politik.
Untuk menegaskan adanya aransemen institusional sebelum memasuki mekanisme demokratis yang pelaksanaannya fair; langsung (one man one vote), umum (perluasan hak pilih), bebas, rahasia, dan adil. Hanya saja dalam sistem yang diharapkan menjadi ajang seleksi dan evaluasi bagi sirkulasi kepemimpinan yang berkualitas tersebut, pada beberapa kondisi yang bersifat factual cenderung tercederai. Diantaranya kecenderungan aktor politik dalam melihat Pemilu sebagai proyek kekuasaan lima tahunan dan menjadikan masyarakat, tidak lebih sebagai alat kekuasaan. Fenomena ini menegaskan bahwa, terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas sejak reformasi digulirkan; tumbuh sumburnya partai politik baru, memerdekaan mengeluarkan pendapat atau berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi, ternyata belum mampu menunjukkan kerangka kuat dalam mewujudkan kemapanan budaya demokrasi,”. Maka, untuk menghindarkan nasib bangsa ini kehilangan subtasnsinya sebuah gerakan berkelanjutan dalam menumbuhkan dan menyuburkan kesadaran politik masyarakat, utamanya pemilih pemula menjadi sebuah jawaban. Sehingga dalam menentukan pilihan politik tidak lagi berdasar informasi yang terbatas, faktor impression (keterkesanan) semata dan kriteria yang tidak rasional dalam mengevaluasi parpol atau politisi. Tapi berdasar analisis kemanfaatan (rasional) untuk meretas kebaikan hidup bersama,”
Tujuan gerakan pemilih cerdas sendiri menginginkan terbangunnya opini serta kesadaran pemilih, terutama pemilih pemula. Perlunya memilih kontestan Pileg atau Pilpres 2009 yang memiliki platform dan program yang jelas dan terukur. Dan tak kalah penting meningkatnya partisipasi politik pemilih, terutama pemula dalam Pemilu 2009 nanti.
Himpunan Mahasiswa Islam mungkin hanya segelintir komponen bangsa ini yang menginginkan adanya perubahan. Sebab ternyata bagi saya esensi pemilih cerdas adalah sebuah keniscayaan perubahan bangsa Indonesia. Dengan menjadi cerdas, masyarakat akan tahu apa yang dipilihnya. Dengan menjadi cerdas masyarakat tak mudah untuk dibekali dengan janji-janji semu belaka. Dengan menjadi cerdas masyarakat lebih dapat mengontrol jalannya pemerintahan di Republik ini. Hanya dengan menjadi cerdas bangsa ini dapat berubah.Apapun hasil yang didapat dalam pemilu 2009 harus terlebih dahulu melalui proses pencerdasan kepada masyaraat Indonesia. Cerdas sekarang atau kita pertaruhkan lagi nasib bangsa ini lima tahun kedepan????
*) KABID PPD HMI Cabang Kupang 08/09

OTONOMI DAERAH, Solusi Cerdaskah ?

{ Posted on 5:32 AM by HMI Cabang Kupang }

OTONOMI DAERAH, Solusi Cerdaskah ?
Jumardi Nasir *)

Mereview Insiden tragis yang menewaskan ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara beberapa waktu lalu, merupakan sejarah demokrasi yang menyayat pilu. Gempuran egoisitas para pendemo ketika memaksa masuk saat jalannya sidang paripurna saat itu, mengisyaratkan pemaksaan kehendak berdemokrasi. Sebuah kenyataan yang menyadarkan perspektif kita akan arti sebuh kebebasan ; kebebasan yang tak mampu lagi kita bendung sehingga meluap dan menyisakan bencana ; bencana sebuah demokrasi.
Semenjak digulingkannya kekuasaan tirani pemerintahan orde baru dan mulai ditegakkannnya kekuasaan demokrasi dengan panji reformasi 10 tahun silam, bangsa ini sering mengalami pasang surut dinamika demokrasi. Banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan atas nama demokrasi memiliki nilai positif dalam pembangunan negeri ini, namun tidak sedikit pula kebijakan-kebijakan yang malah menimbulkan masalah bagi pengembangan negeri ini. Terbukanya kembali ‘mulut’ pers, kembalinya nafas idealis para mahasiswa, terbuka kembali gerbang kritikan, dan legalnya vokalitas anak bangsa dalam menyuarakan haknya, merupakan gambaran dari efek positif dari pilihan demokrasi bangsa ini. Namun, perlu diingat juga bahwa semua realitas itu bisa menjadi bumerang disaat rangkulan kejernihan berpikir kita tak mampu lagi membendungi itu semua. Ketakutan inilah yang saat ini mulai diperlihatkan bangsa ini dalam semangat perjalanan pembangunan demokrasinya.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengajak kita semua untuk kembali merefleksi perjalanan pembangunan demokrasi bangsa ini. Ini penting, sehingga diharapkan hadir ide-ide besar yang dapat kita tumpahkan dalam kerangka mengawal dan mengisi perjalanan bangsa ini kedepan. Pembahasan ini kemudian difokuskan pada sebuah mega produk demokrasi, yakni otonomi daerah ; Apakah masih menjadi sebuah pilihan cerdas dalam pembangunan dan pengembangan negeri ini ?.
Otonomi daerah yang mulai digulirkan pada tahun 1999 merupakan langkah yang dianggap strategis dalam mempercepat pembangunan kesejahteraan di negeri ini ; melalui percepatan pembangunan daerah. Sebuah tujuan mulia yang perlu diapresiasi positif oleh semua elemen bangsa. Tapi, masihkah semangat itu mengalir dalam perjalanan penerapan otonomi daerah sampai saat sekarang ini ? Sebuah pertanyaan besar bagi bangsa ini !!
Otonomi daerah yang terlegalisasi dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah merupakan semangat baru pembangunan kesejahteraan negeri ini. Sebuah instrument pemerintahan yang strategis dalam mengupayakan penciptaan kesejahteraan masyarakat. Dengan otonomi daerah dipastikan pembangunan kemandirian bangsa adalah sebuah keharusan. Pelimpahan wewenang yang selama ini didominasi pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan solusi terbaik. Dengan pelimpahan itu, daerah dapat mengurus dan bertanggung jawab penuh akan pengelolaan sumber daya daerah dalam rangka pembangunan kesejahteraan daerah yang bermuara pada peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu, tidak ada lagi ketimpangan antar daerah, pemerataan kesejahteraan disetiap jengkal wilayah negeri ini dapat terwujud. Pada intinya, dengan otonomi daerah, akses masyarakat pada pelayanan pemerintahan dapat ditingkatkan sehingga masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama membangun kesadaran akan pentingnya kerjasama dalam pembangunan daerah.
Percepatan pembangunan kesejahteraan adalah isu ‘seksi’ yang terus digulirkan untuk terus mempertahankan dan melanjutkan eksistensi otonomi daerah. Isu inilah yang kemudian diinterpretasikan seenaknya dengan kehendak pembentukan daerah-daerah otonom baru ; pemekaran daerah selalu dianggap sebagai solusi cerdas dalam menjawab kebutuhan percepatan pembangunan kesejahteraan yang dicitakan. Sehingga dapat dipastikan bahwa ketika menyoal mengenai otonomi daerah, maka pemekaran daerah menjadi isu dan pembahasan yang terkuak seksi dan menarik. Padahal, pemekaran daerah yang serampangan dan tak bertanggungjawab bisa jadi sebuah permasalahan yang menghambat laju perkembangan sebuah daerah. Mari, bersama penulis kita berselancar dalam alam refleksi lalu dengan berpikir jernih kita mencari akar permasalahan dan menemukan sebuah solusi cerdas.
Urgensi Otonomi Daerah
Sebuah pemerintahan memiliki fungsi yang utama yakni sebagai fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Sebuah Negara bagaimanapun bentuknya dan seberapapun luasnya tetap harus bertanggungjawab penuh dalam memberikan pelayanan maksimal kepada wargannya. Ini mengisyaratkan perlunya perluasan distribusi kewenangan di bidang pemerintahan. Perbedaan kondisi geografis daerah, perbedaan kebutuhan dasar tiap daerah, sumber daya daerah yang khas, dan perbedaan pada prioritas pembangunan tiap daerah, mengharuskan dan mengisyaratkan pentingnya distribusi kekuasaan yang efektif kedalam program daerah secara responsive dan bertanggungjawab. Selain itu, keterbatasan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan juga mengindikasikan pentingnya pendelegasian kewenangan pada unit pemerintahan di daerah. Jadi, pada intinya otonomi daerah menjadi sebuah keharusan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan pemerintah kepada rakyatnya.
Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan pada hakekatnya ditujukan untuk pembangunan kesejahteraan bangsa secara menyeluruh. Keberadaan pembangunan daerah kemudian diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan peran serta aktif masyarakat dan pendayagunaan potensi daerah.
Realitas Penerapan Otonomi Daerah
UU No.22 tahun 1999 merupakan gerbang yang memberikan peluang kepada daerah-daerah untuk mengatur pemerintahannya secara mandiri. UU ini kemudian mengamanatkan pembangunan kesejahteraan daerah di tangan pemerintah daerah setempat, dengan begitu pemerintah daerah mendapat kewenangan yang lebih untuk mengatur daerahnya, mendayagunakan potensi daerahnya, menggenjot aspirasi dan partispasi masyarakatnya dalam rangka pembangunan di daerahnya tersebut. Pada prinsipnya, jika semua itu berjalan dengan baik maka kesejahteraan rakyat dapat terwujud, namun jika telah melenceng dari rel semangatnya maka kehancuran adalah jawaban akhir dari itu semua.
Realitas perjalanan otonomi daerah semenjak digulirkan hingga sekarang ini, mengemukakan banyak fakta, baik itu fakta positif maupun fakta negative. Diantara fakta positif itu, ada beberapa daerah yang setelah menerapkan prinsip otonomi daerah ini, kemudian menjadis sebuah daerah yang lebih maju dari sebelumnya. Struktur pemerintahan menjadi semakin solid, pelayanan pemerintahan kian baik dan efektif dan itu semua berujung pada peningkatan kesejahteraan warganya. Namun, kita perlu juga melihat fakta-fakta negative bahwa banyak daerah yang gagal dalam menerapkan otonomi daerah ini. Kegagalan ini terindikasi dari fenomena stagnannya pemerintahan daerah, buruknya tingkat pelayanan aparatur pemerintahan, ketidakmampuan pengelolaan sumber daya yang efektif dalam mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tentunya sekali lagi ini semua menandakan kesejahteraan rakyat semakin jauh dari harapan semangat otonomi daerah yang diterapkan. Fakta ini kemudian mengisyaratkan kita untuk kembali merefleksi perjalanan proses penerapan otonomi daerah ini, dengan begitu segala kelebihan dan kekurangan pada setiap aspek dapat dikaji kembali untuk terus mengawal otonomi daerah sebagai instrumen efektif dalam pembangunan kesejahteraan negeri ini.
Berbicara mengenai otonomi daerah tidak terlepas dari konsep pemekaran daerah. Pemekaran daerah menjadi sebuah pilihan dalam mengejawantahkan semangat otonomi daerah. Sejak digulirkannya otonomi daerah, telah banyak ditemui praktek-praktek pemekaran daerah di penjuru wilayah negeri ini. Banyak daerah otonom yang terlahir kemudian menjadi daerah percontohan karena sukses menerapkan prinsip otonomi daerah. Daerah ini berhasil meningkatkan indeks pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Semangat pembangunan daerah menjadi ruh perjalanan pemerintahan di daerah ini. Tapi, perlu diingat bahwa, tak sedikit pula daerah-daerah yang kemudian gagal. Semangat pembangunan daerah terkesan hilang dari langkah perjalanan pemerintahan daerah tersebut ; malah yang nampak adalah semangat kolektif memperkaya aparatur pemerintahannya. Ada juga, daerah otonom baru yang terus stagnan, hidup tak mampu mati tak mau. Eksistensinya hanya sebatas struktural pemerintahan, namun fungsi pemerintahannya tak mampu dijalankannya dengan baik ; ia tetap menjadi beban tanggungan pemerintahan induknya dan pemerintah pusat tentunya. Ini terjadi diakibatkan buruknya proses evaluasi akhir pra pemekaran, mulai dari aspek ketersedian sumber daya yang memadai, keuangan daerah dan tentunya kesiapan cultural masyarakat. Sampai saat ini, masih banyak ditemukan daerah-daerah otonom yang masih sanggat menggantungkan kehidupannya pada keuangan pemerintah pusat lewat Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Kehidupan pemerintahannya tak sanggup disokong oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD ) daerah itu. Hal ini jelas bahwa dari segi keuangan daerah, daerah itu sebenarnya belum siap dan terkesan dipaksakan untuk dimekarkan menjadi daerah otonom baru. Padahal seyogyanya sebuah daerah otonom harus mampu mengurusi rumah tangga pemerintahannya secara mandiri, sehingga dapat melepaskan diri dari intervensi dan tegas dalam bersikap dan menetapkan serta merealisasikan prioritas pembangunan di daerahnya.
Jika kita melihat lebih kedalam bahwasanya kecendrungan pemekaran daerah tidak lagi berorientasikan pada ikhtiar percepatan pembangunan daerah, namun lebih pada kesempatan untuk menciptakan kavling-kavling kekuasaan baru yang cendrung menelantarkan semangat pembangunan kesejahteraan masyarakat. Ini terlihat dari semakin maraknya praktek pemekaran daerah yang terkesan sebagai pemaksaan kehendak tanpa melalui pengkajian mendalam yang komprehensif, namun hanya bersifat politis semata. Hal ini jika terus dibiarkan, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan kesejahteraan masyarakat di negeri ini hanyalah mimpi-mimpi belaka.
Jalan Baru Otonomi Daerah
Kita semua tentunya tak menginginkan semangat pembangunan kesejahteraan terberangus dari perjalanan penerapan otonomi daerah di negeri ini. Untuk itu perlu dipikirkan sebuah jalan baru dari penerapan otonomi daerah ini. Penerapan otonomi daerah saat ini perlu dikembalikan pada semangat awalnya yakni sebagai instrument percepatan pembangunan daerah dalam rangka upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, penting adanya rekonstruksi tata laksana otonomi daerah. Ini bertujuan untuk mengatur secara tegas penerapan otonomi daerah sehingga dalam prosesnya dapat efektif dan efisien. Penting pula, penanaman mentalitas pembangunan pada seluruh aparatur pemerintahan, sehingga mereka dapat dengan sigap dan tegas mengawal proses otonomi daerah yang berlangsung didaerahnya. Yang juga penting ialah, dengan pemberian otonomi yang luas ini pada daerah, maka setiap daerah perlu meningkatkan peran serta aktif masyarakat dan stakeholder-stakholder di daerah tersebut. Perlu juga terus digiatkan proses dan tahapan dan seleksi serta evaluasi terhadap para aparatur pemerintahan, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mereka, serta ikhtiar meningkatkan peran dan fungsi pemerintah daerah dan DPRD. Jadi pada prinsipnya penerapan otonomi daerah ini kemudian dikembalikan pada semangat awalnya yakni diorientasikan pada pembangunan daerah.
Aspek yang kemudian penting dilihat adalah proses dan tahapan pemekaran daerah. Perlu kembali diperhatikan tata laksana dan acuan pelaksanaan pemekaran daerah. Pemekaran yang dilakukan harus benar-benar diarahkan sebagai solusi cerdas dalam memeratakan pembangunan, meningkatkan kualitas pelayanan public dan mendorong pembangunan daerah yang berkelanjutan. Pemerintah pusat harus lebih jeli dalam melihat fenomena pemekaran daerah ini. Pemerintah harus memiliki sebuah master plan pemekaran daerah di negeri ini ; sehingga pemekaran daerah yang dilakukan dapat efektif dan tidak terkesan berlebihan. Perlu adanya penetapan proporsi pemekaran daerah yang ideal ; yang mengatur jumlah ideal provinsi, kabupaten, kota, bahkan kecamatan di negeri ini. Ini penting, agar fungsi distribusi dan transportasi kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah menjadi jelas dan efektif. Selain itu pihak legislative dan eksekutif di pusat dan daerah harus kembali mengkaji secara komprehensif mengenai kebijakan pemekaran daerah. Penting adanya produk perundangan yang kompetibel dan efektif dalam mengatur arus dan regulasi pemekaran daerah di negeri ini. Penting adanya pembatasan-pembatasan dan syarat-syarat yang jelas dan memperhitungkan pengkajian yang komprehensif dalam meloloskan sebuah daerah menjadi daerah otonom baru. Sekali lagi, perlu ditanamkan bahwa, perangkat peraturan perundangan ini harus tetap dilandasi semangat pembangunan daerah.
Selain itu, penting adanya kesadaran dari pemerintah daerah bahwasanya pemekaran daerah adalah pilihan cerdas dalam mempercepat pembangunan kesejahteraan di daerahnya. Sehingga ruh pembangunan daerah menjadi pengerak pemerintahannya. Untuk itu, harus digiatkan pendayagunaan sumber daya daerah yang efektif untuk menopang perekonomian daerah. Sehingga itu semua kemudian menjadi modal besar dalam membentuk daerah otonom baru. Daerah otonom ini pun kemudian diarahkan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan pada rakyatnya.
Yang juga penting adalah menerapkan beberapa tahapan dalam pembentukan sebuah daerah otonom baru. Sebuah daerah yang ingin berpisah dari induknya terlebih dahulu melalui beberapa tahapan dalam periode jangka waktu tertentu hingga daerah itu benar-benar siap jadi sebuah daerah otonom yang mandiri. Hal ini penting, agar daerah otonom tersebut dapat muncul sebagai daerah yang dilandasi semangat kemandirian dan pembangunan daerah demi terciptanya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Dengan demikian, otonomi daerah dapat dipastikan menjadi solusi dan pilihan cerdas pembangunan bangsa dan negeri Indonesia tercinta ini. 46….
*) Sekretaris Umum HMI Cabang Kupang 08/09

REPOSISI PERAN KOHATI DALAM DINAMIKA GERAKAN PEREMPUAN

{ Posted on 5:30 AM by HMI Cabang Kupang }
REPOSISI PERAN KOHATI DALAM DINAMIKA
GERAKAN PEREMPUAN
Abdul Rifai Betawi*

Masalah Kemanusiaan
Wacana tentang keperempuan bukanlah sebuah wacana tanpa nilai yang diwacanakan. Wacana terkait dengan jenis kelamin ini terus terkuak akibat dari fenomena social yang menghendaki bahwa masalah keperempuan perlu untuk disekapi secara serius baik dari kaum Adam atau Hawa itu sendiri. Masalah keperempuan bukanlah masalah pada jenis kelamin tertentu tetapi harus ditegaskan bahwa masalah keperempuanan adalah bagian dari masalah kemanusiaan.
Rasullulah Saw di utus ke muka bumi untuk memperjuangan nilai-nilai kemanusiaan yang tertindas oleh kebobrokann umat dijaman jahiliah. Dimana perbudakan / penjualan manusia adalah sebuah lahan komoditi yang cukup memberi hasil bagi kaum kapitalis waktu itu. Selain dari pada itu masalah yang paling urgen yang harus disinergikan pada wacana disini adalah terkait dengan kenajisan kaum dulu terhadap kaum perempuan, jangankan menjadi seorang perempuan, ramalan bahwa janin dalam kandungan seorang ibu tersebut adalah janin yang berjenis klamin perempuan saja, seorang ayah sudah tidak tenang. Mereka beranggapan bahwa melahirkan anak perempuan adalah musibah dan aib keluarga sehingga tidaklah mustahil ketika bayi-bayi perempuan selalu dibunuh, lantas bagimanakah seorang gadis, ibu ataupun janda? Nauzu billla minjaliq. Tidak kala tragisnya dalam proses dehumanisasi dan marjenialisasi terhadap kaum yang dianggap sebagai pelayan setia bagi kaum Adam tersebut.
Rasul telah memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, terkhusus pada masalah keperempuanan, perempuan telah diletakan haknya sejajar dengan kaum laki-laki. Sehingga dikatakan oleh Mill Duran (seorang pencatat sejarah umat manusia) bahwa “Rasullulah Saw adalah orang yang pertama kali berjasa dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak kaum perempuan”.

Dinamika Gerakan Perempuan
Islam telah meletakan perempuan begitu terhormat sejajar dengan kaum laki-laki, naumun realalitas sekarang barat beranggapan balik bahwa sesungguhnya kehancuran umat islam adalah hilangnya keadilan social sebagai akibat kelengahan mereka, kelengahan tersebut bermula dari rumah tangga. (Qasim Amin seorang keturunan kurdi-kairo 1865-1908). Bagaimana tidak barat beranggapan demikian, islam masih bergejolak tentang jenis kelamin mana yang layak menjadi pemimpin. sebuah wacana yang terlahir dari induk perdebatan yaitu Al Qur’an itu sendiri. Kaum laki-laki sering menjadikan kitab suci sebagai legitimasi hegemonitasnya. Sehingga Peter L. Berger mengatakan bahwa agama sering menjadi legitimasi tertinggi karena ia merupakan langit-langit suci.
Ini semua terlahir dari sakralisasi teks sehingga umat hanya menjadikan kitab sebagai sumber bacaan keperpahalaan, yang kemudian dikatakan oleh Arkoun bahwa “umat islam hanya sebatas mengasumsikan Al qur’an sebagai sekedar bacaan biasa (ibadah) dari pada kajian-kajian ilmiah”. Apa dikata ketika barat bergerak dengan gerakan femenismenya yang dimana memperjuangkan hak-hak perempuan yang telah termakan oleh budaya patriarki, islam kembali mengalami so’ karena islam juga malu-malu mengatakan bahwa feminisme / emansipasi adalah bagian dari ajaran Al qur’an. Muslimah kita sudah terlambat akibat dari kitab suci yang mengandung unsure maskulinitasnya. Muslimah terperangkap dalam teks dan budaya. Kita butuh hermonitik qur’an agar kitab kita ini bisa tegar dalam menjawab setiap zaman. (Amina wadud)
Mencermati gerakan keperempuanan hari ini memang sangat unik mungkin keunikan ini semakin menjawab bahwa perempuan adalah mahluk yang unik dan enigmatic. Tanpa membongkar pseoudo kejadiannya, tetapi perempuan cukup menjadi beban dalam dunia bahasa, perempuan telah membuat orang untuk mencari perbendaharaan bahasa yang sesuai dengannya, bahkan kemungkinan bahasa telah habis dengannya. Bahasa cinta, filosofis cinta sair-sair dan lain sebagainya untuk memuja mahluk purnama ini, tetapi tidak kalah dengan kutukan-kutukan terhadap mahluk najis dan penyebab aib atau fitnah ini.
Dinamika Gerakan Perempuan sangat begitu ragam, keinginan untuk bagaimana menyetarakan haknya dengan kaum laki-laki. Perempuan beranggapan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya, yang beda hanyalah kodrat (fungsi biologis) manusia itu sendiri. Tetapi terkait dengan peran tidak ada bedanya. Sehingga perempuan melihat bahwa superioritas kaum laki-laki harus dihentikan dan tidak menjadikan perempuan sebagai subordinal. Fenomena yang menjadikan perempuan sebagai scendclass dimana perempuan hanya dijadikan sebagai pelayan dalam rumah tangga (Peran domistik). Menjadi satu hal yang amat kontrak dengan pemahaman gerakan feminisme sekarang, bahkan ada sebuah ajakan dari kaum feminisme seperti ini “hai para wanita keluarlah penuh solek untuk memeragakan kegenitanmu, keindahanmu, dan kemampuanmu! Siapa yang masih betah didapur sama saja dengan memutar waktu kebelakang”.
Menarik memang ajakan dari gerakan feminisme ini untuk bagaimana membebaskan kaum perempuan dari superioritas kaum laki-laki sebuah ajakan untuk bagaimana memperjuangkan kesetaraan gender tersebut namun dalam dinamika dan pergerakannya ternyata perempuan tidak sebatas menyetarakan bahkan berusaha untuk bersaing dan melebihinya. Perempuan ternya memang tetap menjadi mahluk aneh, memeliki hasrat yang begitu tinggi untuk mengusasi jagat raya ini. Mengutip sebuah filosofi bahwa segala sesuatu akan menjadi indah bila di tempatkan pada posisinya yang seharusnya.

Gerakan Perempuan Qur’anik
Misi pembebasan (leberalisasi) yang telah diperjuangkan oleh Rasulullah Saw dalam menegakan nilai-nilai kemanusiaan termasuk kaum perempuan pada waktu itu. Pastilah sebuah nilai qur’anik dan walaupun sekarang tertelan oleh budaya jahiliah modern. Siapa menyatakan dirinya laki-laki dan kemudian tidak memberikan keadilan ataupun hak kepada kaum perempuan, maka dia layak disebut sebagai masyarakat jahiliah modern. Perjuangan untuk menjadikan perempuan sebagai asset umat dan asset bangsa atau dikenal dengan sebutan “tinga Negara” adalah hak semua uamt manusia untuk memperjuangkannya tanpa mengenal jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Perjuangan untuk menuntut hak kaum perempuan sangat begitu ragam dengan semangat idiologi gerakannya. Misalnya kita perna mendengar adanya gerakan feminisme liberal yang mana kaum ini berupaya untuk menjadikan dirinya sebagai suber kapitalis (pemegang saham dan penguasa) dan penidas buat kaum laki-laki, setidaknya menjadikan diri perempuan sebagai bunga jalanan yang melontarkan birahi bagi lawan jenisnya (penindasan psikoligis dan dekoonongis). Disudut pandang ini maka komersialisasi sebagai satu tujuan utama. Gerakan ini telah menghipnotis kaum perempuan dengan fatwa modernisasi dan trendy, telah mampu membius kaum perempaun untuk keluar penuh solek untuk memeragakan kegenitan!,”. (semoga tidak ada yang mendapat simprotan cairan hitam dari gurita dajjal ini). Selain dari pada itu ada juga gerakan feminisme tradisional yang dimana masih kaku dengan budaya dan norma-norma agama. Ada juga gerakan feminisme moderat yang mengkombinasikan dua gerakan tersebut. Lantas bagaimana kohati memilih sebagai landasan geraknya?........


Gerakan dan Misi Kohati
Kita kembali merefleksikan apa yang dikatakan oleh Arkoun bahwa “umat islam hanya sebatas mengasumsikan Al qur’an sebagai sekedar bacaan biasa (ibadah) dari pada kajian-kajian ilmiah”. Ataupun oleh Amina Wadud Muchsin (feminialis USA) mengakan bahwa “kitab suci Al qur’an adalah kitab yang mengandung unsure maskulinitas yang tinggi sehingga terlahirlah superioritas laki-laki dan infrioritas kaum perempuan didalamnya”. Oleh katena itu Amina Wadud menegaskan bahwa al qur’an perlu untuk didekonstrusi melalui metode hermonitika, sebuah kajian untuk merelanfansikan kitab suci sesuai dengan keinginan zaman. Bukan beratri meruba teks tetapi interprestasinya / penafsiran harus mampu memberikan keadilan karena islam adalah rahmatan lilalamin sehingga wahyu Tuhan tidak mungkin menjunjung satu jenis kelamin terntu.
Pembebasan (liberal/kebebasan) satu hal yang sangat otentik dalam kitab suci al qur’an. Sebuah landasan teologi yang membuat sang refolusioner Muhammad memperjuangkan kebasan umat dari penindasan dijaman jahiliah. Ternya kalau kita berani kita bisa mengklaim bahwa sesungguhnya gerakan feminisme liberal adalah miliknya islam tetapi kemudian ternya bukan berlandaskan idiologi liberal tetapi idiologi agama yakni wahyu sebagai semangat gerakan. Sehingga nilai-nilai kekodratan manusia senantiasa mempolisi pada setiap nafas dan gerak perempuan.
Agama Islam telah mengatur hak - hak dan tugas perempuan dan laki-laki sesuai dengan keadaan kondisi jasmaniah, pembawaan tabiat dan watak. . Di sisi lain kaum perempuan menyamakan derajat yang setara dengan laki-laki yang disebut “ emansipasi perempuan”. Semangat ini perlu dipahami dengan baik dan benar apa arti dan maksudnya.Emansipasi perempuan tidak berarti mempersamakan perempuan secara total dengan laki-laki dalam segala hal, jelas tidak mungkin dalam segala hal karena perempuan memang berbeda secara kodrati dengan laki-laki.
Terkait dengan kepemimpinan nabi bersabda “Kamu semua adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, orang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya ” (H.R. Bukhari). Discourse tentang kepemimpinan perempuan atau yang di usung sebagai sebuah kesetaraan gender seolah-olah menjadi sebuah wacana yang tak pernah habis untuk dikaji dari berbagai perspekif. Apakah perempuan hanya tebatas melayani suami dan anak-anaknya, ataukah perempuan bisa bercompotitif dan membentuk capabilaitas perempuan untuk bisa berperan dipublik
Terbinanya muslimah berkualitas insane cita sebagai sebuah tujuan Kohati yang terpatri secara menyeluruh dalam tujuan HMI “5 kualitas Insan Cita”sebagai cita-cita bersama. Maka dalam wadah Kohati dengan tujuan terbinanya muslimah berkualitas insane cita mampu menjawab kebutuhan HMI-Wati secara spesifik. Dengan lembaga ini diharapkan mampu membina HMI –wati untuk bisa menjadi putrid, istri , ibu dan anggota masyarakat yang cerdas trampil sesuai dengan tunrutan 5 Kualitas Insane Cita HMI.
Dengan landasan idiologi gerak demikian maka HMI-wati tidak terjebak pada gerakan feminisme liberal dan tidak pula kaku dengan doktrin-diktrin agama yang tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh. Idiologi gerakan ini menghendaki adanya persamaan hak antara setiap insane manusia tetapi harus disinergikan dengan kodrat-kodrat manusia sebagai hamba Tuhan.
HMI-wati harus mampu mencetak sumber peradaban (Perempuan) dengan professional. Menjadikan HMI-wati sebagai putri, istri , ibu dan anggota masyarakat yang bermutu. Seorang feminis muslim, Euis Daryati mencoba mengusung tema ‘Peran Perempuan Dalam Membangun Masyarakat Religius’. dalam makalahnya itu beliau menegaskan bahwa peran perempuan sebagai Ibu merupakan usaha perempuan untuk bertanggung jawab atas pendidikan anak dan membangun sebuah keluarga yang harmonis, baik itu diraih dari sisi fromal ataupun nonformal. Melalui pendidikan ibu juga dapat membantu dalam perkembangan kepribadian anak hingga ia nanti berkembang menjadi sorang yang berkepribadian sehat baik jasmani maupun ruhani.
Muhammad Harun Al Rasid Songge (Mantan ketua HMI Cabang Yokyakarta) perna memberi materi pada acara kajian ‘Kohati dipersimpangan jalan’ disekretariat HMI Cabang Kupang tahun 2004, beliau mengatakan bahwa perempuan kalau mau berperan dipublik maka tidak perlu seorang perempuan ataupun ibu itu berada di luar rumah, cukup seorang perempuan itu berada didalam rumah untuk bagaimana memprodak dan memberi kemasan yang indah dan yang terbaik (mendidik anak-anaknya) maka ketika prodak yang bermutu dengan kemasan yang indah ketika keluar maka semua orang akan mengkaguminya maka disitulah peran public seorang perempuan. Kita coba melihat dalam sejarah islam Imam Safi’I misalnya ketika masih dalam kandungan ibunya, ayahnya telah tiada namun dengan dedikasih dari seotang ibu Imam Safi’i mampu menjadi orang ternama dalam sejarah peradaban islam. Kakanda Akbar Tandjung menjadi seorang politik ternama dinegeri ini adalah belayan kasih dari seotang ibu, bahakan beliau juga berkeyakinan bahwa seorang anak yatim (tidak punya bapak) masih punya kemungkinan besar menjadi orang karena kasih seorang ibu, tetapi kalau seorang anak menjadi piatu (tidak punya ibu) maka cukup sulit untuk merai cita-citanya.
Islam sangat menghargai perempuan sampai-sampai sesuatu yang sangat di idam-idamkan oleh setiap orang yang beriman (surga) berada ditelapak kaki ibu. Maka dengan demikian menghormati seorang perempuan dan ibu adalah impian bagi setiap orang yang beriman.

Kohati Insane Cita dalam Reposisi Peran Kohati Dalam Dinamika Gerakan Perempuan
Kohati insane Cita, adalah impian dari sebuah cita-cita besar, namun ketika kita masih menempatkan kata reposisi ataupun revitalisasi maka dibenak kita bisa mengatakan bahwa kohati telah hilang arah, kohati telah mati kopas, bahkan kohati mengimpikan dirinya yang telah berlalu bahkan telah matipun harus menjadi vampir disiang bolong, kebuah keinginan yang sangat paradoks kalau kohati kembali mengunakan juba 5 kualitas insane citanya, Kohati hari ini sangat prakmatis dan sangat muda tergilas oleh peradaban, mungkin dunia kini semakin panas sehingga kaum perempuan semakin kegerahan. Ini berarti disadari atau tidak perempuan akan semakin melepaskan/menanggalkan pakaian iman dan eksitensinya satu demi satu untuk mengelabui kebutuhan nafsu duniawi agar dia mampu bertahan hidup dalam kondisi seperti itu.
Eksitensi Kohati memang perlu untuk digugat bagaimana tidak 5 kualitas insane cita adalah sebuah impian buruk bagai mereka. Sehingga tidak perlu untuk ditelanjangi secara ilmiah. Kita hanya butuh mengkaji pada ketahanan keimanan calon kaum terbaik tersebut. Kita lihat pada jilbab mereka, ternya kohati masih terjebak pada style-style yang trendy. Padahal jilbab bukanlah sekedar kemasan keislaman seorang wanita muslim namun jilbab harus dijadikan sebagai penjaga fitra kewanitaan, “katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak peremupanmu, dan istri-istri orang mukmin! Hendaklah mereka mengulurkan pakaian longgar (jalabibihinan) keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah kenal, katena itu mereka tidak diganggu”. (Q.S Al-Ahzab: 59.) benteng lahiri yang memancarkan ketangguhan rohani didalam menangkal perbuatan keji yang disebabkan oleh dahsyatnya getaran birahi yang divibrasikan oleh kedua jenis mahluk yang jenisnya berbeda satu sama lain.
Sebenarnya busana bagi seorang manusia cumalah bagian dari budi-dayanya yang variatif dan kreatifistik, jilbab, Cuma ia tafsirkan sekedar mantel yang tidak seharus menutup aurat wanita yang peranan ‘Mode’nya lebih penting dari pada penjaga moral. Jilbab Cuma diperalat sebagai kamuflase kejatidirian para penipu. Semoga kohati bukanlah seorang yang menipu akan eksitensi dirinya. Kebobrokan negeri ini diawali dari hilangnya jati diri. Sehingga kohati hari ini karus kembali merefleksikan dirinya agar tidak hilang dan terperangkap oleh budaya hedonisme global.
Kohati harus mampu menjadikan dirinya sendiri menjadikan dirinya yang hidup pada zaman ini, dengan problematika dan tantangannya sendiri sehingga kohati harus menata diri dan mencari tahu persoalan-persoalan yang ia hadapi. Dan mampu beritihad (berpikir) dengan kemampuan intelektual dan kemuslimahannya maka kohati hari ini mampu membuat sejarah bagi dirinya. Amin….. Yakusa

*) KABID PA HMI Cabang Kupang 08/09

HARAP CEMAS DEMOKRASI

{ Posted on 5:23 AM by HMI Cabang Kupang }
HARAP CEMAS DEMOKRASI
Sebuah perspektif kegelisahan anak bangsa
Oleh Jumardi Nasir*


Bayi Ajaib, Reformasi..
10 tahun telah berlalu, semenjak disulutnya obor reformasi, obor yang nyalanya masih terus menerangi kegelapan demokrasi bangsa ini. Obor itulah yang menjadi pengharapan insan bangsa ini agar dapat memberikan cahaya terangnya untuk menyinari tiap sudut ruang demokrasi bangsa Indonesia. Namun, apakah sinar obor itu telah berhasil memberi penyinaran optimal kepada bangsa ini? Apakah bangsa ini telah menemukan jalan yang benar dan tepat di tengah kegelapan demokrasi yang sementara ditapakinya ?
Reformasi yang terlahir dari pengekangan orde sebelumnya ini adalah komitmen nyata dari segenap elemen bangsa dalam ikhtiarnya menghadirkan perubahan sekaligus pembaharuan tatanan berdemokrasi dan kehidupan bangsa Indonesia. Reformasi adalah sebuah ledakan pemikiran yang direalisasikan demi menjawab kebutuhan bangsa yang selalu bertanya akan kemana bangsa ini dilabuhkan ? Di awal kelahirannya – seperti anak manusia – banyak senyum yang coba menyapanya, banyak pesta yang diadakan untuk menyambutnya, banyak jiwa yang mengucap syukur akan kehadirannya dan tentunya banyak harapan yang ditaruh dipundaknya. Bayi kecil reformasi itu terus bertumbuh mendinamikai waktu yang semakin merentakan ibu pertiwinya. Telah banyak proses yang ia lalui, untuk dapat belajar berkembang, sekedar menegaskan eksistensi, dan juga belajar melompati rintangan.
Reformasi bak bayi ajaib yang terlahir sebagai dewa penyelamat, menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan dan ketertindasan. Konsepsi seperti ini praktis menimbulkan banyak harapan. Di tengah harapan yang memuncak inilah, pemaknaan yang salah terhadap esensi reformasi akan dapat menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari. Masalah yang kemudian tampak terlahir akibat euforia anak bangsa dalam menanggapi kelahiran bayi ajaib itu. Euforia ini kemudian menimbulkan gejala sosial politik yang amat menonjol diantaranya kebebasan di satu pihak dan kekerasan di pihak lainnya.
Transisi demokrasi seakan mengeluarkan anak bangsa dari liang neraka, yang selama ini menindasnya, menyengsarakannya, menciptakan tirani dalam kehidupannya. Rasa bebas yang baru diraihnya itu seakan mengalahkan rasionalitas anak bangsa. Semua berlomba-lomba menegaskan eksistensi bahwa ia telah bersuara kembali. Semua berteriak menyuarakan apa saja yang dapat disuarakan. Tidak pernah berpikir akan hakikat apa yang disuarakannya, baik atau buruk tetapi ia suarakan. Implikasi logis tak pernah mau ia pusingkan, yang penting bersuara. Sungguh suatu euforia kebebasan, kebebasan tak berbatas. Karena, implikasi logis dari benturan antar kebebasan melahirkan kekerasan.
Otonomi Daerah, Berkah atau Musibah Demokrasi
Kebebasan yang terlahir dari rahim reformasi, telah semakin merasuk kedalam jiwa seluruh anak bangsa. Banyak pemikiran - pemikiran kebangsaan yang terlahir dari embrio ini. Otonomi daerah adalah salah satu gagasan besar yang terlahir untuk menekan dahaga kebebasan yang telah lama ter-tirani. Rakyat yang telah lama dibungkam, ditipu oleh berbagai macam kebijakan sentralisasi pemerintah, kemudian mulai bersuara, menyuakan desentralisasi. Harapan terus melambung mengiringi perjalanan konsep tersebut disepakti. Banyak kritik dan saran menyertai jejak langkah perjalanannya. Namun harapan besar tetap melanggengkan perjalanannya, sampai ia pun menghiasi tatanan sejarah demokrasi bangsa. Hidup Demokrasi !!
Program desentralisasi yang disulut anak bangsa terus bergulir hingga kini sambil terus menopang beban harapan rakyat dipundaknya. Desentralisasi diharapkan mampu menjawab kebutuhan anak bangsa (dibaca rakyat) di daerah akan penghidupan yang layak. Tirani yang diciptakan orde sebelumnya dirasakan sangat menyesakkan kehidupan rakyat, sehingga penghidupan layak yang dicita-citakan bangsa ini jauh dari penginderaan. Semua suara difokuskan untuk terus mendukung program ini. Tapi, sedikit sekali yang sadar, untuk berpikir dan menganalisa implikasi logis dari penerapan program ini. Semua hanya mampu bersuara, namun tak kuasa berpikir. Mimpi indah menghipnotis sendi kehidupan anak bangsa.
Memang, tak bisa dipungkiri desentralisasi cukup membawa dampak positif yang juga cukup berarti. Tapi, juga tak bisa dinafikkan banyak hal-hal negatif yang tercipta darinya. Itu semua tidak cukup hanya dilihat, tapi harus dicarikan sebuah solusi. Segenap potensi sumber daya daerah telah dapat dinikmati dengan desentralisasi. Daerah yang cerdas dan bijak telah berhasil memanfaatkan dan menikmati kondisi ini., tapi, bagaimana dengan daerah yang tidak seberuntung itu ? Beberapa daerah memang bisa dijadikan model pemaknaan otonomi daerah yang berhasil, tapi bukankah tidak sedikit daerah yang masih tetap menjadi objek penderita ?
Fenomena-fenomena positif banyak terlahir dari proses ini, itu semua penting untuk kita hargai. Tapi, yang lebih penting, kita harus tetap memikirkan penanggulangan fenomena-fenomena negatif yang juga tercipta. Pemekaran daerah adalah salah satu fenomena yang juga merupakan konsekuensi logis dari penerapan otonomi daerah. Kebebasan berekspresi yang memuncak, memang membutuhkan banyak lahan eksperimen, dan pemekaran daerah adalah solusi praktis menjawab kebutuhan itu. Suatu niat yang tulus untuk menciptakan lahan - lahan berekspresi, yang tentunya harus kita hargai. Namun, ketulusan niat itu, apakah mampu tereduksi dalam tahapan perjalanannya ? Sejauh ini kita hanya melihat kepentingan pragmatis dibalik program pemekaran daerah yang sekarang giat dilaksanakan. Niat tulus sebagai embrio, disusupi kepentingan pragmatis untuk berkuasa, yang pada akhirnya nanti menelantarkan semua harapan yang diemban sebelumnya.
Banyaknya daerah-daerah baru yang terlahir dari rahim pemekaran akan semakin menambah kompleksitas dinamika perjalanan kehidupan berbangsa. Dengan banyaknya daerah-daerah baru akan semakin memperlebar lingkaran-lingkaran kekuasaan. Hal ini pastinya membutuhkan lahirnya banyak pemimpin, pemimpin yang benar-benar memimpin, bukan pemimpin yang hanya berkuasa. Dengan pemekaran ini, beramai-ramai anak bangsa mendaftarkan diri menjadi pemimpin, entah ia memang berniat memimpin ataukah hanya sekedar berkuasa. Telah banyak daerah yang coba dimekarkan, entah itu untuk lebih memakmurkan rakyatnya ataukah hanya mencari lahan baru kekuasaan.
Selain dampak positif yang dihasilkan, pemekaran daerah mencetak banyak masalah yang segera harus ditanggapi dan diselesaikan. Korupsi yang menjadi penyakit masyarakat semakin mendapat lahan empuk dengan hadirnya wilayah-wilayah otonom baru. Wilayah yang masih cukup hijau, yang nantinya akan dihujani banyak anggaran. Anggaran yang sangat cukup untuk dikorupsi para penghianat negeri.
Wilayah-wilayah baru yang segera butuh sosok pemimpin, semakin giat berkreasi. Bukan kreasi positif mencari sosok pemimpin yang tepat, tapi berkreasi memanipulasi pemimpin. Banyak dana berarti yang harus dibuang untuk proses pencarian pemimpin daerah. Tidak cukup sampai disitu, semua sumber daya dieksploitasi habis untuk kepentingan tersebut. Puji syukur, jika output dari hal itu adalah munculnya sosok pemimpin yang tepat, tapi jika tidak naudzubillah.
Belum cukup sampai disitu, rantai penderitaan terus melilit bangsa ini. Ketidakpuasan pasca pemilihan kepala daerah tersebut melahirkan konflik berkepanjangan. Konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika semua dapat berproses secara arif. Tapi, bagaimana bisa arif, jika telah banyak dana dan tenaga yang telah tercurah ?, mungkin itulah nada mereka ! Sebaliknya, apakah kita terus percaya saja pada sang juara yang telah memenangi PILKADA, apakah ia masih tetap menjaga komitmen kepemimpinannya setelah habis-habisan bertarung di ring PILKADA ? Sebuah pertanyaan besar ! Sejatinya, pengeluaran itu harus berbanding lurus dengan pemasukan, yang menjadi ketakutan ialah, pemimpin terpilih bukannya berkuasa untuk memakmurkan rakyatnya tapi malah sebaliknya memanfaatkan kekuasaanya demi menambal kas pengeluaran sebelumnya yang selanjutnya bertekad mensejahterakan pribadi dan golongannya. Inilah bencana demokrasi kita. Demokrasi yang tak pernah menyentuh garis tujuan tapi berbelok kearah tujuan pragmatis yang tak bertanggung jawab.
Inilah yang mengharuskan kita untuk kembali bertanya, apakah otonomi daerah yang kita lahirkan adalah memang sebuah berkah ataukah hanya sebuah bencana. Kita memang harus kembali berpikir untuk memaknai demokrasi, bukan pemaknaan yang absurd tapi sebuah pemaknaan yang paripurna. Agar demokrasi yang kita agungkan bisa menjadi sebuah berkah, bagi segenap anak bangsa (dibaca : rakyat) di tanah air tercinta ini. Hidup Demokrasi !! Marilah kita kembali mereviu 10 tahun perjalanan reformasi. Apakah kita masih harus tetap menopang perjalanannya, ataukah kita butuh bayi ajaib baru dari rahim demokrasi kita ini. Ingatlah, demokrasi adalah tetap sebuah DEMOKRASI, janganlah kita menjadikannya sebuah DEMOCRAZY, yang hanya mempertontonkan kegilaan anak bangsa yang semakin menggila karena kebebasannya.
*) Sekretaris Umum HMI Cabang Kupang 08/09



HARAP CEMAS DEMOKRASI
Sebuah perspektif kegelisahan anak bangsa
Oleh Jumardi Nasir*


Bayi Ajaib, Reformasi..
10 tahun telah berlalu, semenjak disulutnya obor reformasi, obor yang nyalanya masih terus menerangi kegelapan demokrasi bangsa ini. Obor itulah yang menjadi pengharapan insan bangsa ini agar dapat memberikan cahaya terangnya untuk menyinari tiap sudut ruang demokrasi bangsa Indonesia. Namun, apakah sinar obor itu telah berhasil memberi penyinaran optimal kepada bangsa ini? Apakah bangsa ini telah menemukan jalan yang benar dan tepat di tengah kegelapan demokrasi yang sementara ditapakinya ?
Reformasi yang terlahir dari pengekangan orde sebelumnya ini adalah komitmen nyata dari segenap elemen bangsa dalam ikhtiarnya menghadirkan perubahan sekaligus pembaharuan tatanan berdemokrasi dan kehidupan bangsa Indonesia. Reformasi adalah sebuah ledakan pemikiran yang direalisasikan demi menjawab kebutuhan bangsa yang selalu bertanya akan kemana bangsa ini dilabuhkan ? Di awal kelahirannya – seperti anak manusia – banyak senyum yang coba menyapanya, banyak pesta yang diadakan untuk menyambutnya, banyak jiwa yang mengucap syukur akan kehadirannya dan tentunya banyak harapan yang ditaruh dipundaknya. Bayi kecil reformasi itu terus bertumbuh mendinamikai waktu yang semakin merentakan ibu pertiwinya. Telah banyak proses yang ia lalui, untuk dapat belajar berkembang, sekedar menegaskan eksistensi, dan juga belajar melompati rintangan.
Reformasi bak bayi ajaib yang terlahir sebagai dewa penyelamat, menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan dan ketertindasan. Konsepsi seperti ini praktis menimbulkan banyak harapan. Di tengah harapan yang memuncak inilah, pemaknaan yang salah terhadap esensi reformasi akan dapat menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari. Masalah yang kemudian tampak terlahir akibat euforia anak bangsa dalam menanggapi kelahiran bayi ajaib itu. Euforia ini kemudian menimbulkan gejala sosial politik yang amat menonjol diantaranya kebebasan di satu pihak dan kekerasan di pihak lainnya.
Transisi demokrasi seakan mengeluarkan anak bangsa dari liang neraka, yang selama ini menindasnya, menyengsarakannya, menciptakan tirani dalam kehidupannya. Rasa bebas yang baru diraihnya itu seakan mengalahkan rasionalitas anak bangsa. Semua berlomba-lomba menegaskan eksistensi bahwa ia telah bersuara kembali. Semua berteriak menyuarakan apa saja yang dapat disuarakan. Tidak pernah berpikir akan hakikat apa yang disuarakannya, baik atau buruk tetapi ia suarakan. Implikasi logis tak pernah mau ia pusingkan, yang penting bersuara. Sungguh suatu euforia kebebasan, kebebasan tak berbatas. Karena, implikasi logis dari benturan antar kebebasan melahirkan kekerasan.
Otonomi Daerah, Berkah atau Musibah Demokrasi
Kebebasan yang terlahir dari rahim reformasi, telah semakin merasuk kedalam jiwa seluruh anak bangsa. Banyak pemikiran - pemikiran kebangsaan yang terlahir dari embrio ini. Otonomi daerah adalah salah satu gagasan besar yang terlahir untuk menekan dahaga kebebasan yang telah lama ter-tirani. Rakyat yang telah lama dibungkam, ditipu oleh berbagai macam kebijakan sentralisasi pemerintah, kemudian mulai bersuara, menyuakan desentralisasi. Harapan terus melambung mengiringi perjalanan konsep tersebut disepakti. Banyak kritik dan saran menyertai jejak langkah perjalanannya. Namun harapan besar tetap melanggengkan perjalanannya, sampai ia pun menghiasi tatanan sejarah demokrasi bangsa. Hidup Demokrasi !!
Program desentralisasi yang disulut anak bangsa terus bergulir hingga kini sambil terus menopang beban harapan rakyat dipundaknya. Desentralisasi diharapkan mampu menjawab kebutuhan anak bangsa (dibaca rakyat) di daerah akan penghidupan yang layak. Tirani yang diciptakan orde sebelumnya dirasakan sangat menyesakkan kehidupan rakyat, sehingga penghidupan layak yang dicita-citakan bangsa ini jauh dari penginderaan. Semua suara difokuskan untuk terus mendukung program ini. Tapi, sedikit sekali yang sadar, untuk berpikir dan menganalisa implikasi logis dari penerapan program ini. Semua hanya mampu bersuara, namun tak kuasa berpikir. Mimpi indah menghipnotis sendi kehidupan anak bangsa.
Memang, tak bisa dipungkiri desentralisasi cukup membawa dampak positif yang juga cukup berarti. Tapi, juga tak bisa dinafikkan banyak hal-hal negatif yang tercipta darinya. Itu semua tidak cukup hanya dilihat, tapi harus dicarikan sebuah solusi. Segenap potensi sumber daya daerah telah dapat dinikmati dengan desentralisasi. Daerah yang cerdas dan bijak telah berhasil memanfaatkan dan menikmati kondisi ini., tapi, bagaimana dengan daerah yang tidak seberuntung itu ? Beberapa daerah memang bisa dijadikan model pemaknaan otonomi daerah yang berhasil, tapi bukankah tidak sedikit daerah yang masih tetap menjadi objek penderita ?
Fenomena-fenomena positif banyak terlahir dari proses ini, itu semua penting untuk kita hargai. Tapi, yang lebih penting, kita harus tetap memikirkan penanggulangan fenomena-fenomena negatif yang juga tercipta. Pemekaran daerah adalah salah satu fenomena yang juga merupakan konsekuensi logis dari penerapan otonomi daerah. Kebebasan berekspresi yang memuncak, memang membutuhkan banyak lahan eksperimen, dan pemekaran daerah adalah solusi praktis menjawab kebutuhan itu. Suatu niat yang tulus untuk menciptakan lahan - lahan berekspresi, yang tentunya harus kita hargai. Namun, ketulusan niat itu, apakah mampu tereduksi dalam tahapan perjalanannya ? Sejauh ini kita hanya melihat kepentingan pragmatis dibalik program pemekaran daerah yang sekarang giat dilaksanakan. Niat tulus sebagai embrio, disusupi kepentingan pragmatis untuk berkuasa, yang pada akhirnya nanti menelantarkan semua harapan yang diemban sebelumnya.
Banyaknya daerah-daerah baru yang terlahir dari rahim pemekaran akan semakin menambah kompleksitas dinamika perjalanan kehidupan berbangsa. Dengan banyaknya daerah-daerah baru akan semakin memperlebar lingkaran-lingkaran kekuasaan. Hal ini pastinya membutuhkan lahirnya banyak pemimpin, pemimpin yang benar-benar memimpin, bukan pemimpin yang hanya berkuasa. Dengan pemekaran ini, beramai-ramai anak bangsa mendaftarkan diri menjadi pemimpin, entah ia memang berniat memimpin ataukah hanya sekedar berkuasa. Telah banyak daerah yang coba dimekarkan, entah itu untuk lebih memakmurkan rakyatnya ataukah hanya mencari lahan baru kekuasaan.
Selain dampak positif yang dihasilkan, pemekaran daerah mencetak banyak masalah yang segera harus ditanggapi dan diselesaikan. Korupsi yang menjadi penyakit masyarakat semakin mendapat lahan empuk dengan hadirnya wilayah-wilayah otonom baru. Wilayah yang masih cukup hijau, yang nantinya akan dihujani banyak anggaran. Anggaran yang sangat cukup untuk dikorupsi para penghianat negeri.
Wilayah-wilayah baru yang segera butuh sosok pemimpin, semakin giat berkreasi. Bukan kreasi positif mencari sosok pemimpin yang tepat, tapi berkreasi memanipulasi pemimpin. Banyak dana berarti yang harus dibuang untuk proses pencarian pemimpin daerah. Tidak cukup sampai disitu, semua sumber daya dieksploitasi habis untuk kepentingan tersebut. Puji syukur, jika output dari hal itu adalah munculnya sosok pemimpin yang tepat, tapi jika tidak naudzubillah.
Belum cukup sampai disitu, rantai penderitaan terus melilit bangsa ini. Ketidakpuasan pasca pemilihan kepala daerah tersebut melahirkan konflik berkepanjangan. Konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika semua dapat berproses secara arif. Tapi, bagaimana bisa arif, jika telah banyak dana dan tenaga yang telah tercurah ?, mungkin itulah nada mereka ! Sebaliknya, apakah kita terus percaya saja pada sang juara yang telah memenangi PILKADA, apakah ia masih tetap menjaga komitmen kepemimpinannya setelah habis-habisan bertarung di ring PILKADA ? Sebuah pertanyaan besar ! Sejatinya, pengeluaran itu harus berbanding lurus dengan pemasukan, yang menjadi ketakutan ialah, pemimpin terpilih bukannya berkuasa untuk memakmurkan rakyatnya tapi malah sebaliknya memanfaatkan kekuasaanya demi menambal kas pengeluaran sebelumnya yang selanjutnya bertekad mensejahterakan pribadi dan golongannya. Inilah bencana demokrasi kita. Demokrasi yang tak pernah menyentuh garis tujuan tapi berbelok kearah tujuan pragmatis yang tak bertanggung jawab.
Inilah yang mengharuskan kita untuk kembali bertanya, apakah otonomi daerah yang kita lahirkan adalah memang sebuah berkah ataukah hanya sebuah bencana. Kita memang harus kembali berpikir untuk memaknai demokrasi, bukan pemaknaan yang absurd tapi sebuah pemaknaan yang paripurna. Agar demokrasi yang kita agungkan bisa menjadi sebuah berkah, bagi segenap anak bangsa (dibaca : rakyat) di tanah air tercinta ini. Hidup Demokrasi !! Marilah kita kembali mereviu 10 tahun perjalanan reformasi. Apakah kita masih harus tetap menopang perjalanannya, ataukah kita butuh bayi ajaib baru dari rahim demokrasi kita ini. Ingatlah, demokrasi adalah tetap sebuah DEMOKRASI, janganlah kita menjadikannya sebuah DEMOCRAZY, yang hanya mempertontonkan kegilaan anak bangsa yang semakin menggila karena kebebasannya.
*) Sekretaris Umum HMI Cabang Kupang 08/09



KEPENGURUSAN HMI CABANG KUPANG PERIODE 2008-2009

{ Posted on 5:21 AM by HMI Cabang Kupang }
KEPENGURUSAN HMI CABANG KUPANG PERIODE 2008-2009

Setelah melewati proses KONPERCAB XXIII HMI Cabang Kupang yang telah diselenggarakan pada tanggal 22 – 25 Juni 2008 lalu yang mengamanahi saudara Abduh Hamid Koli Hobol sebagai ketua umum/ formatur, maka moment pelantikan pun digelar pada tanggal 27 Agustus 2008. Pada seremonial pelantikan ini dihadiri oleh segenap anggota HMI Cabang Kupang, Alumni HMI Cabang Kupang, KAHMI Wilayah NTT, Organisasi kepemudaan lainnya, serta turut pula dihadiri oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur. Pada kesempatan tersebut, Gubernur NTT menyempatkan untuk memberi sambutan dalam rangka terus memberi support kepada HMI khususnya untuk terus menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah sebagai iktiar bersama membangun daerah NTT.
Surat keputusan (SK) Pengurus Besar HMI bernomor 11/KPTS/A/10/1429 tentang pengesahan pengurus HMI Cabang Kupang periode 2008-2009 kembali meneguhkan eksistensi kepengurusan dibawah pimpinan Ketua umum Abduh Hamid Koli Hobol. Berikut susunan pengurus HMI Cabang Kupang periode 2008-2009 :

KETUA UMUM : ABDUH HAMID KOLI HOBOL
Ketua Bidang Pemberdayaan Anggota : Abdul Rifai Betawi
Ketua Bidang Pembinaan Aparat Organisasi : Dahlan Anwar
Ketua Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan : Zunaidin Harun
Katua Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profes : Ruslan Daeng Macora
Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah : Firmansyah A. D. Mara
Ketua Bidang Pemberdayaan Umat : Muhammad Abduh Kasim Koly
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempua : Halimah Tusaadiah
Ketua Bidang HAM dan Lingkungan Hidup : Muhammad Jamhar Puru Duli

SEKRETARIS UMUM : JUMARDI NASIR
Wakil Sekretaris Umum : Sokan B Teibang
Wakil Sekretaris Umum : Junaidin Ali
Wakil Sekretaris Umum : Zulaika Bazher
Wakil Sekreraris Umum : Wahyudi Rachmad
Wakil Sekretaris Umum : Aristo Pua Mbey
Wakil Sekretaris Umum : Budiman Seran
Wakil Sekretaris Umum : Siti Hadija Tawil
Wakil Sekretaris Umu : Erwanti Arman
BENDAHARA UMUM : RISA H. SAPUTRI
Wakil Bendahara Umum : Murniati Salih


DEPARTEMEN – DEPARTEMEN

Departemen Diklat dan Pengembangan Anggota : Umar Camuda
Departemen Pembinaan Aparat dan Pengembangan Organisasi : Faijah Lasitarda
Departemen Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kepemudaan: Muhammad B Luma.
Departemen Pengembangan Lembaga Kekaryaan : Amin Suaka
Departemen IPTEK dan Informasi Pembangunan Daerah : Rasyidah Awaliah Saputri.
Departemen Pengkajian Ke – Islaman : Abdul Haris Nasution Kasim
Departemen Hubungan Lembaga dan Kajian Kewanitaan : Rahman Lada
Departemen HAM dan Lingkungan Hidup : Rahmawati Majid
Departemen Humas dan Administrasi Kesekretariatan : Ismanto Syarifudin Arkiang
Departemen Logistik dan Pengelola Sumber Dana : Mualim Syukur


SAMBUTAN KETUA PAO PB HMI

Di sampaikan pada pelantikan Pengurus HMI Cabang Kupang
25 oktober 2008
"Memperteguh Komitmen Ke-Umatan dan Ke-Bangsaan HMI
di Tengah Tantangan Global"
Assalau'alaikum, Wr, Wb.
Hadirin yang saya hormati….
Pada momentum ini, patutlah kita memanjatkan rasa syukur kita kehadirat Allah SWT yang memberikan kita kesempatan untuk melaksanakan pelantikan pada hari ini. Salawat dan salam juga kita haturkan kepada banginda Rasulullah Muhammad SAW, sang revolusioner yang membentuk peradaban baru bagi umat manusia.
Hadirin yang saya hormati…
Bangsa kita adalah bangsa dengan mayoritas penganutnya adalah beragama Islam. Sebagai mayoritas, tentu menjadi determinan penting dalam ikut mempengaruhi arah kepolitikan bangsa. Pada konteks demikian tentu saja segenap pilihan-pilihan politik umat Islam akan memunculkan reaksi, apresiasi, ataupun koreksi tidak saja di dalam negeri namun juga di luar negeri. Dan itulah konteks di mana umat Islam berada, yakni secara internal, dalam makna hubungan berbagai kelompok dan satuan sosiologis masyarakat dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia, dan konteks hubungan eksternal. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua konteks tersebut semakin mendapatkan energi geraknya dalam mempengaruhi dinamika kehidupan kita sebagai bangsa. Terlebih jika mempertimbangkan faktor globalisasi. Sebuah faktor penting yang tak mungkin diabaikan dewasa ini.
Globalisasi sebagaimana dikatakan Yusuf Qardhawi, seorang pemikir muslim kontemporer, mengandung arti menghilangnya batas-batas kenasionalan dalam bidang ekonomi dan membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional, sehingga dapat mengancam nasib suatu bangsa atau negara. Globalisasi juga bisa berarti eliminasi batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain yang disebabkan adanya perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi dan informasi.
Globalisasi ternyata telah merasuki wilayah kehidupan manusia yang semakin luas. Jika selama ini globalisasi berlangsung dalam wilayah kehidupan material seperti, ekonomi, budaya, dan politik, kini globalisasi telah merasuki wilayah non-material seperti etika. Kehawatiran yang kemudian muncul adalah manusia akan mengalami suatu krisis mendasar, yakni krisis dalam ekonomi global, ekologi global, politik global dan krisis pada dimensi lainnya. Krisis multidimensi global tersebut memunculkan berbagai nestapa umat manusia yang juga mengglobal, seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, penindasan dan sebagainya. Kelangkaan wawasan etik, terutama dikalangan para penguasa politik dan ekonomi ikut mendorong merajalelanya pengrusakan dan korupsi yang secara sistematis mengarah kepada kerusakan dunia yang bersifat sistematis pula.
Salah satu sebab dan implikasi dari pernyataan ini tentu saja adalah apa yang terjadi di Amerika, sebagai contoh, sedikit ataupun banyak telah dirasakan imbasnya dalam kehidupan dalam negeri. Dan karenanya, mengetahui lebih jauh tentang dinamika politik umat Islam dan kaitannya dengan globalisasi menjadi sangat penting. Terlebih jika kita ingin mengetahui lebih jelas bagaimana umat Islam memainkan peran-perannya dalam dinamika yang sangat intens tersebut.
Dampak negative lain dari globalisasi yaitu berkembangnya beberapa kecenderungan hidup seperti, kecenderungan materialstik, indvidualistik, hedonistic, dan kehidupan manusiapun menjadi antroposentris, yakni berpusat pada manusia itu sendiri. Ini sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Kecenderungan tadi merupakan tantangan umat beragama karena kecenderungan tersebut menunjukan adanya pertentangan atau penolakan terhadap nilai-nilai luhur agama. Kecenderungan ini dapat menjalar dengan mudah, yang apabila tidak diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan.
Hadir yang terhormat…
Dalam konteks respons umat Islam, apresiasi atas perubahan di tingkat lokal maupun global memang senantiasa beragam. Ini terjadi karena setiap satuan kecil sosiologis umat Islam memiliki corak dan ragam penghayatan atas masalah yang berbeda-beda. Bahkan tidak jarang perbedaan tersebut menimbulkan gesekan dan konflik di tingkat masyarakat. Ragam penyikapan tersebut pada satu sisi harus diterima secara positif, dalam arti dinamika yang muncul di dalamnya harus ditempatkan sebagai energi penggerak umat Islam itu sendiri. Meskipun, di sisi yang lain, perlu antisipasi serius tatkala perbedaan tersebut, pada tahap tertentu, menjadi medium paling efektif bagi munculnya sosial-disorder. Antisipasi ini penting karena pergesekan yang terlalu intens bukan tidak mungkin akan menjadi pintu bagi munculnya eskalasi konflik berskala luas. Dan karena umat Islam adalah mayoritas, maka konflik yang terjadi di dalamnya pasti akan sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Antisipasi diperlukan terutama saat perbedaan yang meruncing dan bermuara menjadi konflik tersebut, mengancam eksistensi dan ketahanan nasional.
Dalam titik hubung antara dinamika umat Islam yang sangat beragam dengan kepentingan memelihara eksistensi dan ketahanan nasional itu, kiranya diperlukan formula strategi berjangka panjang yang efektif dan memadai, untuk mengakomodasi perbedaan gerak dan pemikiran umat Islam di negara kita. Formula ini penting terutama jika menghitung sensitifitas isu yang berkembang di kalangan umat Islam itu sendiri. Sejauh mana pengaruh yang ditimbulkannya di level masyarakat, dan seberapa tinggi intensitas pergesekannya. Terutama ketika harus menyikapi berbagai bentuk respons umat Islam atas realitas dan peristiwa global yang semakin intens dan kuat pengaruhnya terhadap kehidupan dalam negeri Indonesia.
Pemecahan problematika social, ekonomi, politik mungkin dapat dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan politik serta pemberlakuan hukum secara ketat, namun tidak akan cukup tanpa perubahan orientasi batin dan sikap mental dari masyarakat.
Dalam kaitan ini, agama memiliki peran dan peluang yang besar dalam mewujudkan suatu tatanan dunia baru yang berwawasan etika. Tawaran agama akan kehidupan yang teosentris atau kehidupan yang berpusat pada Tuhan merupakan penolakan terhadap kehidupan antrposentris, berbagai corak egoisme kemanusiaan, baik yang bersifat individual maupun yang kolektif, seperti dalam bentuk rasisme, nasionalisme, dan sekterianisme.
Dalam memperkuat usaha ketahanan nasional yang kuat, tentunya diperlukan sebuah kekuatan nasional yang besar dengan melibatkan semua struktur yang ada dalam masyarakat.
Sebagai bagian dari struktur masyarakat Indonesia dan satuan kecil sosiologis umat Islam Indonesia, HMI yang secara histories kelahirannya juga disebabkan karena kepedulian akan problem-problem keumatan dan keangsaan, dengan modal komitmen kebangsaan dan keumatannya harus ikut mengambil peranan yang aktif dalam dialektika bangsa ini.
Karenanya setiap hirarki dalam struktur kepengurusan HMI baik dari tingkat Pengurus Besar sampai struktur terkecil pada level komisariat perlu adanya kesadaran histories untuk selalu melanjutkan semangat para the Founding Father HMI secara kontinyu. Ini bisa terwujud dari kemandirian orientasi program dan perumusan kebijakan-kebijakan orgnisasi yang sistematis dan mengarah pada pembentukan kesejahteraan masyarakat, baik secara local, regional maupun nasional. Diharapkan bahwa setiap kebijakan orgaisasi tersebut selain untuk pemenuhan kebutuhan pengkaderan untuk memproduksi kualitas kader HMI dalam rangka meningkatkan SDM manusia Indonesia yang handal, juga harus bersinergi dengan kebijakan nasional baik secara formal maupun informal dari setiap satuan struktur masyarakat dan pemerintahan yang ada. Ini sangat penting untuk menyesuaikan arah pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Mengakhiri sambutan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum HMI Cabang Kupang demosiner yang telah menahkodai HMI selama satu periode kepengurusan. Dan kepada Ketua Umum HMI Cabang Kupang beserta seluruh pengurusnya yang baru dilantik, saya ucapkan selamat berdialektika. Eksistensi dan kepedulian HMI Cabang Kupang kepada agama, bangsa, dan Negara selama satu periode mendatang berada dalam tanggungjawab saudara-saudari. Tanggungjawab bukan hanya bersifat kemanusiaan yang hanya dilakukan dalam mekanisme organisasi belaka, namun yakinlah bahwa kerja sdr/i, juga akan dipertanggujawabkan di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, selain sebagai mandataris komisarat yang dipercayakan untuk menjalankan organisasi pada tingkat cabang, setiap kepengurusan di HMI juga harus dimaknai dalam konteks ibadah kapada Allah SWT, sebagai maniestasi kekhalifaan kita sebagai manusia.
Wakulil haq' min Rabbikum
(sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhan)



Billahitaufiq Walhidayah
Wassalamu'alaikum, WR, Wb.