TOKOH HMI

{ Posted on 9:40 AM by HMI Cabang Kupang }
Nama : Nurcholis Madjid
Lahir : Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939
Meninggal : Jakarta, 29 Agustus 2005
Agama : Islam
Isteri : Omi Komariah
Anak : - Nadia Madjid
- Ahmad Mikail
Menantu : David Bychkon
Alamat rumah : Jalan Johari I No.8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.


Pendidikan
Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam)

Bidang Yang Diminati
Filsafat dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, Politik Negara-Negara Berkembang

Pekerjaan
Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984
Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-2005
Dosen, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985-2005
Rektor, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 – 2005

Penerbitan (sebagian)
The Issue of Modernization Among Muslim in Indonesia, a Participant Point of View in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978) (“Issue tentang Modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
“Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982) “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
“In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
IslamicThoughts (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
“Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)

LAIN - LAIN
Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997
Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998
Ketua yayasan Paramadina, Jakarta 1985-2005
Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, 1990
Anggota KOMNAS HAM, 1993-2005
Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Canada, 1991-1992
Wakil Ketua, Dewan Penasehat ICMI, 1990-1995
Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
Penerima Cultural Award ICM, 1995
Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998-2005
Penerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998
Keikutsertaan dalam Events Internasional
Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, Italy
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, Austria
Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USA
Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, Morocco
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, Italy
Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands.
Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
Pembicara, konperensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USA
Peserta, Konperensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua, Mei 1997, Vienna, Austria
Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USA
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USA
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USA
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USA
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, Switzerland
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, Nopember 1998 state Departmen (departemen luar negeri amerika), Washington DC, USA
Peserta Presenter “Konperensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, Japan
Peserta, Sidang ke-7 konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan.


Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, merupakan ikon pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa. Sebenarnya menjadi masinis lokomotif

politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik.”
Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik.” Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.
Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.
Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan m

politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom yang ahli pendidikan itu.
Tapi sangat disayangkan, Cendikiawan muslim ini terlalu cepat dipanggil ke rhibaan Sang Khalik. Ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini, Nurcholis Madjid, menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. Cak Nur, panggilan akrabnya, mengembuskan napas terakhir di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya.
Seluruh bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi ikon pemikiran pembaruan dan gerakan Islam di negeri ini. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia menganggap penting pluralisme, karena ia meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan.
Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
Sumber : TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

No Response to "TOKOH HMI"

Post a Comment