{ Posted on 10:18 AM by HMI Cabang Kupang }
ISLAM TEOLOGI PENINDASAN ATAU TEOLOGI PEMBEBASAN ?
(sebuah refleksi terhadap keberislaman kita)
oleh : Didik S. Harianto*


Pemberontakan terhadap penindas adalah kepatuhan terhadap Tuhan
(Blody Jack)

Memang menarik bila tilik makna tersirat dibalik penyataan blody Jack dalam bukunya Eko Prasetyo (2005) “ menjadi Intelektual Progresif” menjadi sebuah idiom pergerakan bahwa “ penindasan sebuah keniscayaan yang harus dilawan maupun diberangus karena sesungguhnya itulah bentuk pembuktian ketaqwaan terhadap Tuhan ” Radikal sekali pernyataan Blody Jack mungkin realitas social yang bersentuhan dengan pribadinyalah yang melatarbelakangii pernyataannya itu. Ini seakan memberikan deskripsi terhadap kita bahwa seperti itulah hakikat sebuah ketaqwaan yang terejawantahkan dalam realitas kehidupan social.
Dalam kaitannya dengan perlawanan, Islam dalam banyak doktrinnya juga menekankan akan tradisi perlawanan. Perlawanan seperti apakah yang didoktrinasi islam dalam ajaran ajarannya, Sayyid Qutb salah satu ulama dan sastrawan islam mencoba menjelaskannya menurut beliau “islam adalah sebuah gerakan pemberontakan yang bertujuan menghancurkan setiap pola hubungan manusia yang menuhankan sebagian di atas sebagian lainnya. Sebab setiap hukum yang di dalamnya manusia dapat bertindak sewenang-wenang, bahkan ia sendiri menjadi sumber kekuasaannya tidak lain merupakan tindakan penuhanan manusia atas manusia lainya” dengan demikian jelas, bagi Qutb bahwa dokrtin perlawanan dalam islam adalah suatu bentuk peniadan terhadap kekafiran sosial.
Kalau islam begitu menekankan akan tradisi perlawanannya, lantas timbul pertanyaan kenapa di sebagian besar negara-negara islam justru tumbuh subur praktek-praktek penindasan dan kejahatan kemanusiaan? bahkan ironisnya para elit-elit penindas tersebut nota benenya adalah pemeluk ajaran islam dan yang lebih parahnya lagi ulama dan intelektual islam pun turut ambil peran dalam penindasan tersebut padahal para ulama dan intelektual tersebut harusnya menjadi tokoh dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran islam bukan menjadi bagian dari system tersebut.
Hal ini disebabkan dangkalnya pemahaman agama para ulama dan intektual islam yang hanya mampu memaknai islam sebagai sebuah agama ritus semata. Padahal esensi ajaran agama harusnya mampu menyentuh persoalan kemanusiaan.. Bagi Syariati ritus agama adalah sebuah komitmen social seperti yang di ungkapkannya ”shalat adalah sarana untuk menolak dan menghilangkan tindakan dan perilaku yang buruk dan jahat, juga mencegah korupsi dan segala macam bentuk kejahatan” sehingga menurut syariati ibadah yang tidak memiliki implikasi sosial hanyalah merupakan ibadah yang kosong tanpa makna.
Sehingga jelas bahwa tugas utama kaum muda islam adalah menyadarkan kembali fungsi dari para ulama dan intelektual islam yang kini telah menjadi bagian dari system penindasan tersebut, apabila para elit agama tersebut tidak sadar akan fungsinya maka mereka pun harus di berangus karena mereka sudah menjadi penindas itu sendiri, hal ini sejalan dengan pendapatnya soe hok gie yang mengatakan bahwa “musuh kita adalah orang-orang yang merasa benar dan tidak pernah mau di kritik sehingga perlu untuk di lawan ”.
Kaum muda islam sudah seharusnya menyadari tugas dan tanggung jawab yang diembannya dalam rangka menyatukan kedua komitmen yakni komitmen kebangsaan dan komitmen keumatan. Kedua komitmen ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena berbicara soal pemuda maka jelas disini berarti kita berbicara tentang tabggung jawab kebangsaan yang diemban dalam diri setiap pemuda dan aspek kedua yaitu islam berarti spirit ajaran islam telah terintegral dalam dirinya dan dapat di implementasikannya dalam kehidupan social.
Kenapa harus pemuda? Jawabannya karena di dalam diri pemuda tersimpan 3 kekuatan yaitu kekuatan fisik,kekuatan semangat dan kekuatan intelektual. Ketiga potensi yang dimiliki pemuda ini apabila di satukan maka akan menjadi sebuah kekuatan besar dan ampuh untuk melawan penindasan dan memberangus segala bentuk kezaliman social di muka bumi ini. Sehingga marselo mazzini pun menyatakan kekagumannya terhadap pemuda lewat puisinya “tempatkan pemuda mahasisiwa itu di tengah masa yang memberontak kau akan tahu kekuatan yang tersembunyi didalam barisan mereka.daya pesona apa yang melantun dari suara mereka atau massa itu, engkau akan melihat dari gabungan rasul-rasul untuk sebuah agama baru, karena pemuda mahasisiwa hidup di atas gerakan, tumbuh membesar di dalam gelora semangat dan keyakinan itu, maka tasbihkanlah tentang tanah air, tentang kejayaan tentang keperkasaan. Tentang kemenangan gemilang ” mungkin benar pendapat mazzini sehingga hal yang perlu di lakukan pemuda ialah bagaimana menyatukan barisan pemuda dalam satu aksi bersama untuk memerangi segala bentuk penindasan, pemuda harus senantiasa berada di garda terdepan dalam perlawanan terhadap penindasan dan kezaliman.
Inilah tugas dan tanggung jawab kita sebagai generasi muda islam akankah amanah ini dapat kita pikul dan kita laksanankan ataukah amanah ini hanya sekedar menjadi simbol-simbol social tanpa makna, semuanya berpulang pada kita mari kita refleksikan kembali makna hidup dan keberislaman, sudahkah amanah ini kita jalankan? Kalaupun belum lantas apa yang menyebabkan demikian jawabannya barangkali kita juga telah menjadi bagian dari system penindas tersebut wallahuallam.

* KABID PPPA HMI KOMISARIAT IPPERTATEK

TOKOH HMI

{ Posted on 9:40 AM by HMI Cabang Kupang }
Nama : Nurcholis Madjid
Lahir : Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939
Meninggal : Jakarta, 29 Agustus 2005
Agama : Islam
Isteri : Omi Komariah
Anak : - Nadia Madjid
- Ahmad Mikail
Menantu : David Bychkon
Alamat rumah : Jalan Johari I No.8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.


Pendidikan
Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955
Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
Institute Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam)

Bidang Yang Diminati
Filsafat dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, Politik Negara-Negara Berkembang

Pekerjaan
Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984
Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-2005
Dosen, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985-2005
Rektor, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 – 2005

Penerbitan (sebagian)
The Issue of Modernization Among Muslim in Indonesia, a Participant Point of View in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978) (“Issue tentang Modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
“Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982) “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
“In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
IslamicThoughts (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
“Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)

LAIN - LAIN
Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997
Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998
Ketua yayasan Paramadina, Jakarta 1985-2005
Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, 1990
Anggota KOMNAS HAM, 1993-2005
Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Canada, 1991-1992
Wakil Ketua, Dewan Penasehat ICMI, 1990-1995
Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
Penerima Cultural Award ICM, 1995
Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998-2005
Penerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998
Keikutsertaan dalam Events Internasional
Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, Italy
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, Austria
Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USA
Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, Morocco
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, Italy
Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands.
Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
Pembicara, konperensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USA
Peserta, Konperensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua, Mei 1997, Vienna, Austria
Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USA
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA
Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USA
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USA
Sarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USA
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, Switzerland
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, Nopember 1998 state Departmen (departemen luar negeri amerika), Washington DC, USA
Peserta Presenter “Konperensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
Presenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, Japan
Peserta, Sidang ke-7 konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan.


Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, merupakan ikon pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa. Sebenarnya menjadi masinis lokomotif

politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik.”
Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik.” Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.
Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI.
Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.
Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan m

politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom.
Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri.
Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum.
Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom yang ahli pendidikan itu.
Tapi sangat disayangkan, Cendikiawan muslim ini terlalu cepat dipanggil ke rhibaan Sang Khalik. Ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini, Nurcholis Madjid, menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. Cak Nur, panggilan akrabnya, mengembuskan napas terakhir di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya.
Seluruh bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi ikon pemikiran pembaruan dan gerakan Islam di negeri ini. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia menganggap penting pluralisme, karena ia meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan.
Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
Sumber : TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

UU Pornografi Untuk Kepentingan Bangsa

{ Posted on 5:00 AM by HMI Cabang Kupang }
This summary is not available. Please click here to view the post.

HMI Cabang Kupang Gelar Diskusi Publik

{ Posted on 4:12 AM by HMI Cabang Kupang }


Demi menyikapi fenomena penolakan terbitnya Undang-Undang tentang pornografi yang sangat menuai kontroversi, Pengurus HMI Cabang Kupang secara inisiatif mengadakan DISKUSI PUBLIK, untuk menghimpun berbagai golongan di NTT khususnya di Kota Kupang dalam rangka menyimak dan menghimpun pemikiran-pemikiran cerdas lewat proses diskusional. Diskusi Publik yang dilaksanakan pada 06 Desember 2008 dan bertempat di Aula Utama Eltari tersebut mengangkat thema “Kontroversi Undang-Undang Pornografi ; Kajian Kritis Antara Budaya dan Moral”. Dalam diskusi publik tersebut menghadirkan 4 pembicara, salah satunya Anggota Komisi I DPR RI yang juga merupakan juru bicara PANSUS RUU APP, Bapak Ali Mochtar Nggabalin, M.Si. Selain itu, hadir juga sebagai pembicara Drs. Marsel Tupen (Kepala Biro LINMAS Prov. NTT) yang dalam kesempatan tersebut mewakili Pemerintah Provinsi NTT.

Materi yang disampaikan pada diskusi publik tersebut, diantaranya :
v Latar Belakang Rancanagan UU Pornografi Dalam Kajian DPR RI
Oleh : Ali Mochtar Ngabalin (Juru Bicara Pansus RUU Pornografi)
v Respon Pemerintah Daerah Terhadap Pemberlakuan UU Pornografi
Oleh : Pemerintah Propinsi NTT
v Demokrasi dan Tantangan DisIntegrasi Bangsa
Oleh : Departemen Hukuk dan HAM Wilayah NTT
v Konsistensi Peran Kepolisian Dalam Upaya Pengawalan dan Penerapan UU Pornografi.
Oleh : Kepolisian Daerah NTT

Diskusi Publik ini diikuti oleh berbagai elemen, diantaranya Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Kota Kupang, Akademisi dari Universitas Nusa Cendana dan Universitas Muhammadiyah Kupang, Tokoh-tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Kalangan Aktivis LSM, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Kemahasiswaan, Alumni dan anggota HMI, Guru-guru sekolah, Mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas se-kota kupang serta anggota masyarakat lainnya.


TAFSIR INDEPENDENSI HMI

{ Posted on 3:42 AM by HMI Cabang Kupang }
TAFSIR INDEPENDENSI
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM


A. PEDAHULUAN
Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.
Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.
Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 6 Anggaran Dasar HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Untuk lebih memahani esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psikologis keberadaan pemuda mahasiswa Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI.

B. STATUS DAN FUNGSI HMI
Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral" atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi "social control". Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau "agent of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.
Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.

C. SIFAT INDEPENDEN HMI
Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI".
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "hablumminallah" maupun dalam "hablumminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.
Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang :
· Cenderung kepada kebenaran (hanief)
· Bebas terbuka dan merdeka
· Obyektif rasional dan kritis
· Progresif dan dinamis
· Demokratis, jujur dan adil
Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta komit pada prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas.
Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "committed" dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran dan obyektifitas kejujuran dan keadilan.
Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :
Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar manapun juga.
Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.
Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.

D. PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG
Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia.
Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.
Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang.
Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan datang.
Wabilahittaufiq wal hidayah

--disadur dari Buku Besar HMI--

MEMORI PENJELASAN AZAS HMI

{ Posted on 3:33 AM by HMI Cabang Kupang }
MEMORI PENJELASAN
TENTANG ISLAM SEBAGAI AZAS HMI


“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu: (QS. Al-Maidah : 3).
“Dan mereka yang berjuang dijalan-Ku (kebenaran), maka pasti Aku tunjukkan jalannya (mencapai tujuan) sesungguhnya Tuhan itu cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat (progresif) (QS. Al-Ankabut : 69).
Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya.
Iradat Allah Subhanu Wata’ala, kesempurnaan hidup terukur dari personality manusia yang integratif antara dimensi dunia dan ukhrawi, individu dan sosial, serta iman, ilmu dan amal yang semuanya mengarah terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara induvidual maupun kolektif.
Secara normatif Islam tidak sekedar agama ritual yang cenderung individual akan tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemaham/kesadaran, kepentingan, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.
Substansi pada dimensi kemasyarakatan, agama memberikan spirit pada pembentukan moral dan etika. Islam yang menetapkan Tuhan dari segala tujuan menyiratkan perlunya peniru etika ke Tuhanan yang meliputi sikap rahmat (Pengasih), barr (Pemula), ghafur (Pemaaaf), rahim (Penyayang) dan (Ihsan) berbuat baik. Totalitas dari etika tersebut menjadi kerangka pembentukan manusia yang kafah (tidak boleh mendua) antara aspek ritual dengan aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi dan sosial budaya).
Adanya kecenderungan bahwa peran kebangsaan Islam mengalami marginalisasi dan tidak mempunyai peran yang signifikan dalam mendesain bangsa merupakan implikasi dari proses yang ambigiutas dan distorsif. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya mutual understanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Penempatan posisi yang antagonis sering terjadi karena berbagai kepentingan politik penguasa dari politisi-politisi yang mengalami split personality.
Kelahiran HMI dari rahim pergolakan revolusi phisik bangsa pada tanggal 5 Februari 1974 didasari pada semangat mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam berbagai aspek ke Indonesian.
Semangat nilai yang menjadi embrio lahirnya komunitas Islam sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekanan). Dari sisi kepentingan sasaran yang hendak diwujudkan adalah terutangnya nilai-nilai tersebut secara normatif pada setiap level kemasyarakatan, sedangkan pada posisi penekan adalah keinginan sebagai pejuang Tuhan (sabilillah) dan pembelaan mustadh’afin.
Proses internalisasi dalam HMI yang sangat beragam dan suasana interaksi yang sangat plural menyebabkan timbulnya berbagai dinamika ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan didasari rasionalisasi menurut subyek dan waktunya.
Pada tahun 1955 pola interaksi politik didominasi pertarungan ideologis antara nasionalis, komunis dan agama (Islam). Keperluan sejarah (historical necessity) memberikan spirit proses ideologisasi organisasi. Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan diri organisasi untuk “bertarung” dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreatifitas intelektual pada Kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaharuan pemikiran Islam dan proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu perekat serta ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada Kongres ke-X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses justifikasi Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.
Orientasi aktifitas HMI yang merupakan penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi pada jamannya. Keyakinan Pancasila sebagai keyakinan ideologi negara pada kenyataannya mengalami proses stagnasi. Hal ini memberikan tuntutan strategi baru bagi lahirnya metodologi aplikasi Pancasila. Normatisasi Pancasila dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu mensuport bagi setiap institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata nilai Pancasila.
Konsekuensi yang dilakukan HMI adalah ditetapkannya Islam sebagai identitas yang mensubordinasi Pancasila sebagai azas pada Kongres XVI di Padang, Maret 1986.
Islam yang senantiasa memberikan energi perubahan mengharuskan para penganutnya untuk melakukan invonasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi. Dan yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan semakin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, maka pemilihan Islam sebagai azas merupakan pilihan dasar dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad Islam dijadikan sebagai doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik, trasedental, humanis dan inklusif. Dengan demikian kader-kader HMI harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua demi ridho-Nya.

--Disadur dari Buku Besar HMI--

HMI Cabang Kupang Gelar Aksi Damai

{ Posted on 3:55 AM by HMI Cabang Kupang }
HMI Cabang Kupang Gelar Aksi Damai

Dalam rangka perayaan Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 62 yang jatuh pada tanggal 5 Februari 2009, Pengurus Besar HMI (PB HMI) menginstruksikan seluruh HMI Cabang se-indonesia untuk melaksanakan aksi secara serentak pada tanggal 5 februari. Aksi ini membawa sebuah tema besar HMI BERGERAK, Maklumat HMI, untuk Indonesia yang lebih baik. Pengurus HMI Cabang Kupang, sebagai bagian integral ditubuh himpunan, kemudian turut melakukan aksi damai itu. Aksi tersebut diawali dengan Longmarch yang mengambil start di seputaran POLDA NTT dan mengambil jalur melewati area pertokoan Kuanino dan finish di Halte - Kamp. Solor. Aksi yang diikuti segenap kader HMI Cabang Kupang ini, tentunya mendapat apresiasi yang besar dari warga kota Kupang, ini terlihat dari antusiasnya warga kota Kupang menyaksikan aksi tersebut berlangsung dan dengan seriusnya mendengar orasi yang secara bergantian disuarakan oleh pengurus HMI Cabang Kupang dan anggota himpunan lainnya. Aksi yang dimulai pukul 10.00 hingga 13.00 wita ini mengorasikan banyak ide-ide pemikiran kader HMI, dalam kerangka turut membangun negeri ini. Banyak masalah-masalah kebangsaan dan kedaerahan yang kemudian terurai dengan logisnya. Orasi yang disuarakan juga mengandung ide-ide solutif dalam memecahkan permasalahan tersebut. Ini adalah sebuah langkah nyata himpunan ini dalam menjawab tantangan sebagai kader umat kader bangsa.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua umum HMI Cabang Kupang menyempatkan untuk membaca dengan lantang isi maklumat HMI. Sebuah Maklumat untuk Indonesia yang lebih baik.


MAKLUMAT HMI

Keprihatinan atas kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak kunjung mencapai masyarakat adil makmur, maka dalam rangka memperingati Dies Natalis HMI ke-62, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), melalui HMI Bergerak menegaskan MAKLUMAT untuk Indonesia yang lebih baik.
1. Bergerak membangun karakter dan kedaulatan bangsa
Rapuhnya karakter bangsa, membuat Indonesia kehilangan “jati diri” dalam mengelola dan mengembangkan kehidupan masyarakat bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Lepasnya pulau sipadan dan ligitan, terjarahnya hak cipta anak-anak bangsa, redupnya prestasi olahraga di pentas internasional, hilangnya rasa percaya antar anak bangsa, amoralnya prilaku politisi (korup), dll, membuat kami menganggap penting dan mendasar untuk kembali merujuk dan mengangkat entitas “kedaulatan dan kemartabatan bangsa”, minimal dalam empat kategori berikut :
a. Kedaulatan konstitusional
Kedaulatan dalam penyusunan produk perundang-undangan termasuk amandemen UUD 1945 harus lepas dari kepentingan dan intervensi asing. Sehingga peraturan perundang-undangan yang dilahirkan sepenuhnya disemangati ruh jati diri kebangsaan yang mengabdi pada kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
b. Kedaulatan ekonomi
Problem kemiskinan yang terus menunjukkan trend menarik ditengah pertumbuhan ekonomi, menandakan tidak terjadinya distribusi pendapatan yang merata. Kenyataan ini menegaskan bahwa “kedaulatan ekonomi” belum dimiliki oleh rakyat, hanya milik segelintir pemilik modal dan elite politik. Maka upaya revolusioner untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada rakyat, harus dilakukan dengan menelorkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat secara eksponensial dan melepaskan ketergantungan ekonomi pada pihak luar negeri (asing)
c. Kedaulatan Teritorial
Kedaulatan teritorial berarti kendali sepenuhnya atas wilayah RI beserta kekayaan alam didalamnya. Keutuhan teritorial merupakan ukuran yang paling nyata dan sederhana dari kedaulatan suatu bangsa. Disinilah pentingnya internalisasi pada seluruh komponen bangsa, tentang batas Negara, pola pikir (mindset), budaya dan ideology negara, sebagai sebuah eksistensi yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
d. Kedaulatan pengelolaan sumberdaya alam
Kekayaan alam Indonesia, harus dikelola secara proporsional dan berkelanjutan untuk dijadikan sebagai salah satu basis dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Banyaknya pihak asing yang menangguk keuntungan dari kekayaan sumber daya alam tersebut, baik dalam bentuk investasi maupun dengan mempengaruhi regulasi, merupakan problem dasar pengelolaan sumber daya alam yang harus diselesaikan sesegera mungkin.
2. Bergerak memperkokoh persatuan dalam keragaman
Bangsa dilahirkan oleh keinginan untuk hidup bersama, dalam satu ikatan batin yang dipersatukan karena kesamaan penderitaan dan cita-cita. Pemahaman nasionalisme secara generic seperti ini belum dapat menjawab tantangan akan pudarnya eksistensi negeri bangsa (narion-state) di era globalisasi. Geneologi bangsa yang lahir dari keseragaman memang amat dekat dengan kebisingan dan konflik. Maka dibutuhkan formula baru bagi persatuan didalam keragaman di tengah globalisasi, yang dirajut diatas, semangat gotongroyong, toleransi, keadilan, dan penghargaan yang layak pada spirit lokalitas dan kewilayahan.
3. Bergerak menata demokrasi yang berkhidmat pada kebijaksanaan
Pilihan system demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada beberapa kondisi yang bersifat factual, telah meretas efek negative berupa frustasi, karena luasnya jarak antara demokrasi dengan cita-cita masyarakat sejahtera. Untuk itu, demokrasi Indonesia harus digerakkan diatas jalannya sendiri, yang dibentuk/diretas dari akar budaya dan kesejarahan bangsa Indonesia. Bukan demokrasi “tiruan” sebagaimana fenomena yang mengemuka saat ini.
Jalan baru bagi demokrasi Indonesia harus disusun diatas kondisi tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat Indonesia yang relative masih rendah, keragaman budaya dan agama, geografis dan sejarah praktek demokrasi yang telah kita jalani selama masa perjuangan hingga 63 tahun Indonesia merdeka. Penelusuran pada factor-faktor tersebut niscaya akan menghasilkan system dan praktek berdemokrasi yang khas Indonesia tanpa melupakan pijakannya pada nilai-nilai kebajikan universal seperti keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia, kesejahteraan dan lain-lain.
4. Pemilu 2009 dan kepemimpinan efektif, bersih dan berwibawa.
Pemilihan umum 2009, merupakan momentum strategis untuk melihat dan mengevaluas kualitas demokrasi dan pemerintahan Indonesia untuk dasawarsa kedua pasca reformasi. Untuk itu, Pemilu 2009 harus dikawal tidak semata sebagai prosedur demokrasi, melainkan dalam semangat pembumian nilai-nilai substansi demokrasi seperti keadilan, kesetaraan, kompetisi yang sehat, dll. Dan untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, tentu dibutuhkan penyelenggara pemilu yang independent dan fair, kontestan yang beretika dan taat aturan main, media massa yang sehat dan obyektif, serta pemilih yang cerdas.
Adapun kepemimpinan nasional yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang efektif, bersih dan berwibawa serta mampu bekerja dan menggerakkan kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kebaikan hidup bersama sebagai masyarakat bangsa, yang lahir dari rekam jejak dan keunggulan program.Bukan dari citra dan popularitas yang sarat rekayasa dan manipulasi.


REFLEKSI DIES NATALIS HMI KE- 62

{ Posted on 5:49 AM by HMI Cabang Kupang }
REFLEKSI
DIES NATALIS HMI KE- 62
HMI, JALAN BARU MENUJU INDONESIA SEJAHTERA..!!!
HMI CABANG KUPANG BANGKIT;
Meretas Kejumudan Berfikir, Melintasi Keragaman,
Mewujudkan Generasi Qur’aini/Insan Cita
Abduh Hamid*

IFTITAH
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang di pelopori pendiriannya pada tanggal 05 pebruari 1947 oleh Prof Lafran Pane dkk, tepatnya dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Negara kesatuan repubik Indonesia. Masyarakat diseluruh pelosok nusantara menyatakan sikap dan tekat sebagai sebuah bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Ditengah kondisi bangsa yang sedang bergelora dalam sebuah fase revolusi fisik waktu itu, HMI senantiasa diperhadapkan pada dua problem dasar yaitu mempertahankan kemerdekaan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Problem inilah yang menginspirasi para founding father kita untuk menghimpun para pemuda/mahasiswa Islam berjuang berdasarkan nilai-nilai Islam bersama komponen bangsa lainya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sejak awal didirikan, HMI secara tegas membuktikan dua komitmen, yaitu; Pertama “Komitmen Keislaman/Keumatan” berupa memperjuangkan syiar agama Islam serta aspirasi dan kepentingan umat. Komitmen yang kedua “Komitmen Keindonesiaan/Kebangsaan” yaitu memperjuangkan harkat dan martabat rakyat Indonesia serta menolak upaya – upaya bangsa penjajah yang berusaha menjajah kembali bangsa kita. kemudian selanjutnya kita mendeklarasikan diri sebagai “Kader Umat”– “Kader Bangsa”. Dengan melihat sebaran potensi, kompetensi serta integritas kader - kader himpunan yang memiliki semangat dimasa depan dan tingginya Komitmen Kebangsaan, inilah yang oleh Panglima Besar Jendral Sudirman menyatakan bahwa HMI tidak sekedar Himpunan Mahasiswa Islam tetapi HMI adalah harapan Masyarakat Indonesia Sebagai organisasi yang menghimpun generasi muda Islam “Kader Umat” maka corak Keislaman HMI adalah moderat. Nilai-nilai Islam yang dituangkan dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI –yang dikompilasi oleh Nurcholish Madjid (almarhum), Endang Saifuddin Anshari (almarhum) dan Sakib Mahmud–, mengetengahkan Islam secara substansial, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, antara lain: Tauhid/Keesaan Tuhan, Universalitas Islam, Islam yang inklusif, Islam yang dialogis, Kemanusiaan/persaudaraan universal, Islam sejalan dengan modernitas/progresifitas dan demokrasi, Islam yang tidak ekstrim (ummatan wasathan/umat yang mampu berdiri di tengah-tengah); dan Islam yang toleran. Intinya, HMI hendak membawakan suatu wajah Islam yang modern/maju, toleran, dan tidak ekstrim, yang dikedepankan dan diperjuangkan oleh HMI adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai keberislaman semacam itu. Sebagaimana dikemukakan oleh almarhum Nurcholish Madjid, NDP HMI lebih terfokus pada upaya mengetengahkan Islam secara substansial. Bukan pada aspek legal-formal. Oleh sebab itulah, HMI tidak menghendaki formalisasi hukum (syariat) Islam, melainkan bagaimana menanamkan nilai-nilai (substansi) ajaran Islam itu di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural atau majemuk (sebagaimana dikatakan almarhum Nurcholish Madjid ibarat “taman sari” ini.
Di sisi lain, komitmen kebangsaan/Keindonesiaan HMI diwujudkan dalam berbagai peran nyata dalam mengisi kemerdekaan dengan ikut serta menjadi bagian intergral dari proses-proses pembangunan, dan proses-proses kebangsaan lainnya. Sebagai “sumber insani pembangunan”, maka insan-insan HMI diharapkan menjadi pelopor atau penggerak pembangunan bangsa di segala bidang. Oleh sebab itulah kader-kader HMI dituntut untuk mampu tidak saja memahami secara baik atas berbagai permasalahan pembangunan dan permasalahan bangsa secara luas, tetapi juga diharapkan mampu untuk berbuat sesuatu secara konstruktif, agar tidak terjadi stagnasi kesadaran masyarakat dalam upaya perwujudan pembangunan “Masyarakat Cita”, serta mengupayakan berbagai hal guna kemajuan dan kemandirian bangsa demi terwujudnya Masyarakat adil-makmur yang diridhoi Allah SWT (Masyarakat Madani).
Untuk mewujudkan masyarakat Cita/Madani, maka kiranya penting bagi kita untuk senantiasa concern menata kemandirian ekonomi. Jika melihat dengan menggunakan kaca mata oposisi biner sambil mengintrodusir perkataan Karl Mars dalam teori ketergantungan kelasnya bahwa “ Semakin tinggi tingkat ketergantungan kaum proletar terhadap kaum borjuis maka akan melahirkan konsekuensi logis berupa semakin besar otoritas/kekuasaan kaum borjuis dalam mengintervensi setiap kedaulatan, keinginan dan kebutuhan kaum proletar”. Sehingga jelas bagi kita bahwa “akan hilang kedaulatan bangsa ini baik secara ideologi politik, hukum, maupun sosial - budaya serta pertahanan wilayah dan keamanan sosial sebagai bangsa yang benar-benar merdeka dan bermartabat jika bangsa kita tidak secara serius menata kemandirian dan kemerdekaan ekonomi kita” untuk itu lewat peristiwa yang bersejarah ini, sebagai “warga himpunan” dan merupakan bagian integral dari elemen bangsa ini, kita senantiasa tetap genuine mencairkan dan meretas kejumudan - kejumudan ekonomi serta mencari alternatif solution untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan, himpitan ekonomi yang kian hari terasa makin mencekik.
Untuk itu, dengan semangat idealisme dan kesadaran kebangsaan kita yang masih tersisah, serta dengan sedikit “bekal kesadaran intelektual”, lewat momentum Dies Natalis HMI Ke-62 ini, sebagai organisasi yang berstatus mahasiswa, berfungsi sebagai organisasi kader, serta berperan sebagai organisasi perjuangan maka rahim perkaderan HMI, semestinya dapat mengkonstruk watak serta karakter kader baik dalam berpikir, bersikap maupun berprilaku dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan universal, itu harus secara keseluruhan dapat teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap kader himpunan yang senantiasa cenderung kepada nilai kebenaran (hanief), Bebas, terbuka dan merdeka (independen), kritis, rasional serta obyektif, dan juga harus senatiasa progresif, dinamis, demokratis, jujur, dan adil.
Kiranya ada beberapa hal yang perlu kita refleksikan secara mendalam_mendapat perhatian serius bagi setiap kita sebagai kader umat – kader bangsa untuk senantiasa menjaga dan me_maintenance “Aura Intelektual dan Spiritualitas”, agar “fitrah Kemanusiaan” kita sebagai generasi muda yang kritis dan sadar akan nasib dan masa depan negeri ini senatiasa tetap terjaga.
Hadirin Sekalian Yang Berbahagia
Tidak bisa dinafikan bahwa, pada era reformasi ini, bangsa Indonesia masih berada dalam kondisi yang belum sepenuhnya pulih dari kondisi multikrisis, khususnya krisis ekonomi. Berbagai indikator ekonomi, seperti: tingkat pertumbuhan, investasi, daya saing nasional, masih berkisar pada angka yang rendah; sementara tingkat pengangguran dan kemiskinan menunjukkan kecenderungan semakin naik. Tentu saja banyak pekerjaan rumah serius dalam rangka memulihkan kembali krisis ekonomi dan krisis-krisis lain.
Namun demikian, kita tidak boleh terjebak pada sikap yang pesimis, sebaiknya dengan langkah dan upaya yang sungguh-sungguh dari segenap elemen bangsa untuk “memperbaiki keadaan’, maka optimisme lah yang kita tanamkan. Masa depan Indonesia adalah milik kita, milik generasi kita sekarang.
Guna melihat Indonesia ke depan, maka kita harus senantiasa mengamati kecenderungan-kecenderungan mutakhir, tidak saja di level lokal dan nasional, tetapi juga yang ada di level global/internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita sekarang berada di era globalisasi. Era ini ditandai dengan semakin menipisnya jarak/batas antar-satu negara dengan negara lain, akibat terbuka dan pesatnya perkembangan teknologi informasi/telekomunikasi. Di dalam konteks ekonomi misalnya, kecenderungan yang terjadi adalah pasar bebas atau liberalisasi pasar (market liberalization) –di mana satu negara tidak dapat menutup diri dari aktivitas liberalisasi pasar, sebagaimana diatur oleh World Trade Organization (WTO). Ke depan, kita juga akan dihadapkan oleh perkembangan teknologi yang kian pesat. Dan tentu saja semua itu, akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang lebih kompleks dan menantang.
Selain kecenderungan-kecenderungan di atas, tercatat juga berbagai permasalahan yang akan tetap berlanjut di masa yang akan datang. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi permasalahan ekonomi dan non-ekonomi. Di bidang ekonomi, ditandai oleh kompetisi ekonomi yang kian tajam. Selain dibutuhkan kualitas SDM yang andal, produk yang bermutu/berkualitas, juga dibutuhkan kecerdasan pemerintah dalam melakukan regulasi - regulasi ekonomi yang mampu melindungi kalangan usaha mikro, kecil dan menengah (kalangan enterpreuner), sekaligus meningkatkan daya saing mereka di tataran global.
Di bidang non-ekonomi, kompleksitas permasalahan di masa yang akan datang juga cenderung lebih kompleks dibanding dengan apa yang terjadi saat ini – terutama, apabila permasalahan-permasalahan yang ada saat ini tidak tertangani dengan baik. Dalam konteks ini, adakalanya terdapat beberapa kesamaan permasalahan yang ada di level daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan level nasional, kawasan regional, maupun internasional; seperti misalnya permasalahan yang terkait dengan konteks keamanan internasional, yang ditandai dengan hadirnya fenomena terorisme internasional. Di sisi lain, juga terdapat permasalahan-permasalahan yang bersifat spesifik di level daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan level nasional yang tak kalah seriusnya.
Di sisi lain Indonesia sebagai nation-state (negara-bangsa) juga menghadapi permasalahan terkait dengan disintegrasi bangsa. Asumsi yang mengemuka adalah: apabila proses pemulihan multikrisis berjalan dengan baik, pembangunan berjalan kembali di segala bidang secara maju dan berkeadilan, maka proses/gejala disintegrasi bangsa akan turut berkurang; dan sebaliknya integrasi bangsa makin kokoh. Tetapi apabila proses pemulihan multikrisis berlarut-larut, Indonesia semakin terpuruk di dalam kondisi yang memprihatinkan, maka proses disintegrasi tersebut, bukan tidak mungkin akan mengalami percepatan.
Namun demikian, kita pantas bersyukur bahwa etos nasionalisme bangsa Indonesia, tidak sepenuhnya ikut tenggelam bersama dengan realitas multikrisis yang ada. Dengan modal dasar nasionalisme tersebut, diharapkan segenap komponen bangsa mampu menepiskan kecenderungan-kecenderungan primordial dan sektarian, dan tetap memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi. Bagaimanapun, kita harus gali dan kembangkan berbagai modal sosial (social capital) yang ada dalam masyarakat, agar jangan sampai bangsa yang demikian plural ini mengalami kondisi yang “tidak percaya satu sama lain”, atau apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai “low trust society”. Persatuan dan kesatuan bangsa terkait dengan konteks kohesivitas masyarakat yang plural ini, ke depan kohesivitas tersebut harus senantiasa tetap terjaga.
Guna menghadapi kecenderungan kompleksitas permasalahan Indonesia masa depan, maka setiap level struktural, baik level pemerintah (negara) maupun masyarakat, harus memiliki kesiapan dan strategi yang baik. Di level pemerintah/negara, harus semakin mampu mengaksentuasikan atau mengedepankan terciptanya kebijakan-kebijakan segala sektor/bidang kehidupan yang betul-betul mencerminkan atau derivasi dari kepentingan-kepentingan nasional (national interest) yang ada. Jangan sampai negara gagal merumuskan dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik yang justru merugikan dan memunculkan efek marjinalisasi masyarakat, dari gejolak liberalisasi pasar yang tak kenal ampun. Negara harus mampu hadir dan berpihak pada kepentingan nasional dan melindungi segenap masyarakat indonesia.
Dengan kata lain, negara harus cerdas (smart state), tidak mau didikte oleh kepentingan asing dan mengorbankan kepentingan nasional, hal ini tidak saja terkait dengan konteks kedaulatan dan harga diri bangsa, tetapi juga betul-betul melindungi masyarakat dari konteks persaingan global yang “tanpa pandang bulu”. Negara harus secara aktif merespons perkembangan pasar, agar liberalisasi pasar tidak memarjinalisasikan atau meminggirkan segenap potensi dan pelaku ekonomi kita, baik di level daerah maupun nasional.
Sebuah kebijakan publik yang baik dan tepat, bagaimanapun tidak dapat dilepaskan dari kualitas dan “keberanian” kepemimpinan yang memiliki otoritas publik. Sebuah negara yang cerdas, ialah yang mampu memadukan berbagai masukan yang ada, untuk merumuskan suatu regulasi/kebijakan dalam rangka mengupayakan berbagai kepentingan nasional secara optimal. Di sisi lain, negara cerdas, juga mampu merumuskan kebijakan-kebijakan dalam rangka menumbuhkan kondisi yang kondusif bagi hadirnya SDM Indonesia yang berkualitas dan memiliki visi masa depan.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Mencermati realitas kebangsaan dan keumatan sedemikian kompleks, maka yang utama harus dilakukan oleh HMI adalah melakukan penguatan perkaderan yang dilakukan secara komprehensif dan mampu menjawab tantangan zaman yang kian kompleks. HMI harus back to campus, dalam arti memperkuat basis-basis perkaderannya di kampus-kampus. HMI harus kembali mewarnai kehidupan dunia kemahasiswaan kita di kampus-kampus. HMI harus mempertegas kembali corak intelektualitasnya sebagai organisasi mahasiswa atau kalangan yang terpelajar.
Perkederan ini penting mengingat kontinuitas perjuangan dan implementasi visi dan misi HMI amat penting dan mendasar. Di sisi lain HMI harus tetap menjadi organisasi mahasiswa yang independen, yang harus senantiasa kritis terhadap berbagai perkembangan eksternalnya. Kritisisme merupakan satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, dan memang itulah ciri utama organisasi kemahasiswaan yang mengedepankan idealisme dan memiliki kepentingan jangka panjang.
HMI sebagai bagian dari umat dan bangsa dituntut untuk ikut bertanggungjawab dalam proses keumatan dan kebangsaan. Jangan sampai kita, para kader HMI terjebak hanya pada permasalahan-permasalahan jangka pendek dan tidak strategis, tidak produktif dan cenderung destruktif; padahal tantangan umat dan bangsa semakin kompleks dan akumulatif.
Segenap kader HMI harus mampu mengidentifikasi dan merumuskan berbagai jawaban atas tantangan-tantangan yang ada; berorientasi jangka panjang, senantiasa meningkatkan kualitas SDM (dengan penguasaan atas iptek dan memiliki kualitas imtak), sehingga peran para kader HMI betul-betul mampu dirasakan oleh segenap elemen bangsa yang lain. Para kader HMI harus tetap menjadi “manusia pembelajar”, rendah-hati dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan menguasai teknologi, senantiasa cerdas dan mampu berbuat –sekecil apa pun bagi masa depan umat dan bangsa Indonesia secara lebih baik.
Di sisi lain kita, para kader HMI juga di tuntut untuk membawakan Islam sebagai rahmatan ll alamin. Islam yang moderat dan tidak ekstrim. Di tengah-tengah suasana dimana kelompok-kelompok Islam yang cenderung menggunakan cara - cara kekerasan terhadap kelompok lain, maka HMI harus berupaya memelopori wacana dan aksi Islam sebagai agama penuh kedamaian dan cinta kasih, Islam yang anti-kekerasan, Islam yang toleran sebagai cerminan Islam yang ramhatan lil alamin. Ini penting, karena Islam merupakan agama yang tidak mencela pluralitas atau kemajemukan masyarakat. Dalam konteks Keindonesiaan, maka Islam yang penuh kedamaian itulah yang mutlak perlu ditampilkan.
Kepada segenap pengurus, baik pengurus Cabang, Komisariat serta semua “keluarga besar” HMI Cabang Kupang, kiranya lewat refleksi dies natalis HMI ke-62 ini, dengan segala kerendahan hati dan dengan diiringi semangat kolektifitas, saya mengajak kepada saudara-saudara bahwa dalam melaksanakan proses pembelajaran dan pengabdiian kita terhadap himpunan. Lewat “HMI Cabang Kupang Bangkit” hendaknya dalam memantapkan semangat perkaderan, kiranya ada beberapa hal yang harus senantiasa kita konsolidasikan kedepan, diantaranya antara lain sebagai berikut:


1. HMI CABANG KUPANG BANGKIT;
Melakukan Characther Building
Upaya untuk melakukan pembangunan karakter kader himpunan harus dimulai dengan mendekonstruksi paradigma berfikir kader yang cerderung sectarian, materialistik- individualistik, pragmatis, hedonis, instan, skeptis serta terkesan apatis dalam setiap dialektika sebagai keluarga besar insan cita, sehingga lewat proses pencerahan dan transformasi kesadaran ilmu pengetahuan, kader – kader himpunan dapat secara cerdas, radiks, arif dan bijaksana membedakan karakteristik nilai serta corak dari masing - masing struktur berfikir dan sistem ideology, sehingga diharapkan membentuk karakter kader yang benar – benar ideologis - populis, dialogis sehingga diharapkan dapat meminimalisir kecendrungan – kecendrungan tersebut lewat sebuah rekonstruksi paradigma baru dalam menumbuhkan kesadaran baru yang lebih berjiwa Qurani, humanis, universal, toleran, pluralis, opensif/inklusif, serta memiliki sense of social dan solidaritas kemanusiaan demi tercapainya semangat persaudaraan universal antara sesama kader himpunan. Kita berharap ini bisa meminimize kecendrungan arogansi intelektual, egoisme komunal, serta superioritas personal diantara para kader di masing-masing komisariat yang mungkin hari ini ada kader komisariat yang merasa unggul jika disandingkan dengan komisariat yang lain, tetapi perlu disadari bahwa berHMI adalah sebuah bentuk pengejawantahan atau transformasi dari nilai-nilai Qurani, yang terinkluding didalamnya spirit egalitarianisme sosial serta universal brotherhood, sebagai satu kesatuan keluarga besar insan cita yang semestinya saling melengkapi, menghargai, memotivasi serta saling menyeruh pada yang benar dan bukan sebaliknya.
2. Konsolidasi Kesadaran Kader
Sebagai The second university, maka semangat perkaderan kita harus bisa menjawab student needs dan student interest. Untuk itu, semestinya intensitas konsolidasi organisasi dalam rangka membangun animo serta kesadaran kader ber-HMI, yang harus dilakukan oleh segenap pengurus, baik pengurus Cabang - Komisariat maupun terhadap sesama pengurus dan anggota, hendaknya dilandasi oleh semangat Intellectual excersice, Emotional excercise serta Spiritual excercise sehingga orientasi perkaderan serta konstruksi nilai – nilai kekaderan kita senantiasa bermuara pada kualitas insan cita yaitu; kualitas insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernafaskan islam, serta insan yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt (Kualitas Insan Cita), jika ini kita (segenap warga himpunan) dapat melaksanakannya dengan baik maka, saya percaya lapisan perkaderan kita akan semakin kokoh serta terintegrasi didalamnya spirit nilai-nilai kekaderan yang integral dan konperhensif.
3. Penguatan Visi Intelektual Menuju Intelektual Humanis
Jika kita mencoba melakukan historical approach maka fakta sejarah di kaki langit negeri ini membuktikan bahwa “Rahim Perkaderan HMI” dimasa lalu sekitar tahun 70an memiliki tradisi Intelektual, independensi, integritas nilai serta spirit profesionalisme keilmuan yang produktif dan kuat, sehingga terbukti melahirkan kader-kader terbaik atau para pemikir - pemikir besar bangsa ini seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahid, Djohan Efendi, Dawam Rahardjo, Azumardi Azra, Kamarudin Hidayat dll. Semangat intelektualitas dan profesionalisme itu secara genuine teraktualisasi lewat “labotatorium Ide” seperti dengan membentuk komunitas – komunitas berfikir, bengkel - bengkel kajian/diskusi sehingga diharapkan dapat meretas kejumudan berfikir dan ruang transaksi ide, konsep dan gagasan sebagai suatu bentuk perwujudan eksperimentasi dan eksplorasi pemikiran – pemikiran kritis, dinamis – konstruktif itu benar- benar terwujud. HMI sebagai Learning Organisation harus senantiasa tetap terus melakukan Intelectual exercise dengan spirit “mencari tanpa henti” terhadap ilmu pengetahuan,. jika ini secara konsisten dilaksanakan oleh himpunan maka prestasi gemilang di masa lalu berupa tradisi intelektual secara perlahan bisa kita wujudkan kembali, itupun jika kita menginginkan Rahim Perkaderan Hmi Cabang Kupang kelak melahirkan kader-kader yang memiliki karangka berfikir dan struktur ideologi ataupun pemikir – pemikir insani di masa depan.
Akhirnya, besar harapan saya, seraya mengharapkan pada semua keluarga besar himpunan yang hadir, mudah - mudahan HMI tetap kita jaga eksisistensinya, agar selalu tetap eksis, sehingga HMI seperti yang diungkapkan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman bahwa ”tidak hanya sekedar Himpunan Mahasiswa Islam” tetapi HMI akan selalu dan senantiasa intiqomah dan selalu tetap menjadi ”Harapan Umat - Harapan Bangsa”, Harapan Masyarakat Indonesia yang senantiasa selalu Independen, kritis, responsif serta survive, dan terus berkiprah di tengah - tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan, keumatan serta kebangsaan.....Semoga,,,!!!! A m i e n
Selamat ber-Dies Natalis ke -62
Dirgahayu HMI! Bahagia HMI!
HMI Go ahead
Moga tetap selalu menjadi Harapan Masyarakat Indonesia
Bilahittaufiq wal Hidayah,
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




*) Ketua Umum HMI Cabang Kupang 08/09





ADA APA DENGAN RSU W. Z YOHANES KUPANG,???

{ Posted on 5:39 AM by HMI Cabang Kupang }

ADA APA DENGAN RSU W. Z YOHANES KUPANG,???
Abduh Hamid Koli Hobol*

Mungkin ini adalah judul yang tepat untuk mengawali tulisan ini. Bagi kita warga masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya warga kota Kupang. eksistensi rumah sakit umum W.Z Yohanes Kupang tidaklah begitu asing di telinga kita, karena RSU adalah satu-satunya rumah sakit milik pemerintah propinsi NTT yang ada di kota Kupang. Dalam realitasnya sebagai mana kita ketahui bahwa, RSU dari hari ke hari semakin bagus gedung - gedung dan fasilitas medisnya, akan tetapi amat sangat disayangkan jika itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan berbasis kemanusiaan yang menjadi inspirasi dan komitmen awal lahirnya RSU W.Z Yohanes Kupang.
Apa artinya gedung- gedung mewah bertingkat yang bagus dan terkesan begitu elitis, apa gunanya laboratorium medis yang lengkap, banyaknya tenaga medis/karyawan jika miskin fungsi serta buruk dalam memberikan pelayanan kesehatan. Apa manfaatnya obat-obatan yang begitu banyak, fasilitas transportasi yang memadai jika itu harganya meroket serta tidak punya keberpihakan atau tidak dapat memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat Nusa Tenggara Timur (Baca: Pasien Miskin) yang hanya karena kebetulan tidak memiliki uang.
Regulasi yang di tetapkan oleh pemerintah dan pengelola RSU terkesan bisnis, mahal, beroreintasi proviet serta tidak berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang tidak punya uang yang cukup untuk mengaksesnya (Baca: Miskin). Mungkin rumah sakit hanya dipersiapkan khusus bagi orang - orang kaya yang memiliki sejumlah uang, sehingga orang miskin terpaksa tergusur, termarjinalisasi bahkan teralienasai dari realitas ini.
Ada benarnya apa yang di introdusir oleh Eko Prasetyo tentang ‘orang miskin dilarang sakit/berobat dan orang miskin tanpa subsidi”, karena memang hari ini sudah terlalu sangat mahal harga yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah kesehatan. Maka, tidak heran jika pihak RSU W.Z Yohanes menggunakan logika “rumah bordir” untuk memapankan eksistensi dan pelayanannya. Rasionalisasinya adalah “jika ingin mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan yang baik, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap pasien untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut”. Stratifikasi sosial atau kelas - kelas sosial antara kaya – miskin, punya uang – belum memiliki uang jelas nampak disini. Dari problem tersebut diatas muncul pertanyaan kritis yang harus di jawab oleh setiap kita yang masih memiliki kesadaran serta nurani kemanusiaan; sesungguhnya ada apa dan untuk apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan semua ketimpangan dan ketidakadilan diantara kelas-kelas sosial yang sedang dan akan terjadi pada RSU W.Z Yohanes,? jawabannya karena hari ini kita telah memper-tuhan-kan uang. Uang adalah segala-galannya, bahkan harga diri serta kualitas kemanusiaan kita hari ini sangat ditentukan oleh seberapa banyak uang yang kita miliki. mungkin ini hanyalah sebuah apologi karena sesungguhnya tidak bisa dinafikan bahwa hari ini orang tidak lagi berfikir untuk bagaimana mengasa dan melatih sense of humanity tetapi yang dilatih adalah sekerakahan dan apatisme sosial sehingga membuat kita mengalami “krisis eksistensial” serta “krisis kemanusiaan”.
Adalah sebuah ironi kemanusiaan, ketika kita mendengar kisah kematian Katarina Anunut, balita yang terserang diare sehingga harus berobat dan pada akhirnya meninggal di RSU W. Z Yohanes Kupang, seperti yang dilansir Koran Timor Ekpress pada beberapa edisi yang lalu. Yakobus Anunut ayahnya, yang tengah diselimuti kesedihan mendalam karena kehilangan anaknya. Akibat ketiadaan biaya untuk membayar ambulance milik RSU W.Z Yohanes Kupang yang tarifnya sangat mahal, terpaksa harus berjalan kaki menggendongnya sejauh kurang lebih 8-9 KM menembus pekatnya malam. Saya kira ini adalah sebuah tragedi sekaligus potret buram sejarah kemanusiaan yang telah di torehkan oleh pihak rumah sakit umum W.Z Yohanes Kupang,
Apa artinya biaya ambulance, jika dibandingkan dengan harga dari sebuah rasa kemanusiaan, tetapi itulah aturan yang dibuat demi kemaslahatan bersama di satu sisi, tetapi membunuh rasa berperikemanusiaan disisi yang lain. Kiranya kedepan persoalan ini dapat dibenahi secara serius oleh pihak – pihak terkait dengan pemerintah daerah maupun pihak rumah sakit umum, baik itu pembenahan menyangkut peninjauan kembali tarif atau biaya rumah sakit umum yang terlalu mahal, keramahan petugas, konsistensi dan kualitas pelayanan dalam rangka mewujudkan rumah sakit yang murah tetapi berkualitas di propinsi ini. Karena masyarakat Nusa Tenggara Timur sangat merindukan rumah sakit yang murah tetapi berkualitas. Rumah sakit yang bisa menjawab kebutuhan serta memahami kondisi ekonomi masyarakat. Saya yakin ini bukanlah merupakan sesuatu yang utopis, jika ada political will dari pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan - kebijakan strategis di bidang kesehatan. Kebijakan yang lebih memahami kesulitan dan pro kepada kebutuhan serta kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Kiranya ini mendapat perhatian serius serta refleksi yang mendalam dari pemerintah dan pihak rumah sakit umum demi mewujudkan rumah sakit yang benar - benar bisa menjawab harapan masyarakat nusa tenggara timur…semoga
*) Ketua Umum HMI Cabang Kupang 08/09

KADER HMI, jadilah PEMILIH CERDAS

{ Posted on 5:36 AM by HMI Cabang Kupang }


KADER HMI, jadilah PEMILIH CERDAS
Firmansyah*



Pemilihan umum (Pemilu) 2009 sudah di depan mata. Kurang dari 52 hari lagi pesta demokrasi Indonesia memasuki babak barunya. Walau tahapan pemilu sendiri telah dimulai jauh-jauh hari, Juni 2008. Namun yang pasti nasib bangsa kedepan ada di tangan pemilih yang memberikan hak pilihnya pada 9 April 2009 mendatang.
Perubahan adalah keniscayaan, begitu juga system pemilu Indonesia tahun 2009 ini. Berubahnya cara memberikan suara dari semula system coblos ke system contreng, berharap pemilih Indonesia semakin cerdas. Begitu juga Indonesia keseluruhan, beharap ada perubahan setelah pemilu mendatang.
Tak kalah penting dalam sebuah keniscayaan perubahan pemilu Indonesia 2009 adalah berubahnya sikap politik masyarakat. Dari semula politik tradisional menuju politik modern, dari semula bersikap apatis menuju pemilih yang partisipatoris. Untuk itulah diperlukan suatu gerakan membawa perubahan kecerdasan pada pemilih Indonesia dalam pemilu 2009 mendatang. Agar dapat menjadi titik tolak sebuah perubahan politik kearah lebih subtantif. Essensi pemilih cerdas adalah sebuah keniscayaan perubahan bangsa ini. Cerdas sekarang atau kita pertaruhkan lagi nasib bangsa ini lima tahun kedepan?. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai bagian tak terpisahkan dalam komponen bangsa, mencoba memberikan sebuah pemahaman akan pentingnya arti kecerdasan dalam menentukan sebuah pilihan. Dengan gerakannya yang bernama gerakan pemilih cerdas. HMI mencoba mendobrak dan merubah pemahaman masyarakat dalam menentukan pilihan poliriknya nanti, dimana masyarakat harus cerdas dalam memilih. Demokrasi yang membuka ruang dimana pemilihan pemimpin-pemimpin politik (public leader) dilakukan secara langsung yang kompetitif, mensyaratkan dua hal penting yaitu, Pemilu dan Partai Politik.
Untuk menegaskan adanya aransemen institusional sebelum memasuki mekanisme demokratis yang pelaksanaannya fair; langsung (one man one vote), umum (perluasan hak pilih), bebas, rahasia, dan adil. Hanya saja dalam sistem yang diharapkan menjadi ajang seleksi dan evaluasi bagi sirkulasi kepemimpinan yang berkualitas tersebut, pada beberapa kondisi yang bersifat factual cenderung tercederai. Diantaranya kecenderungan aktor politik dalam melihat Pemilu sebagai proyek kekuasaan lima tahunan dan menjadikan masyarakat, tidak lebih sebagai alat kekuasaan. Fenomena ini menegaskan bahwa, terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas sejak reformasi digulirkan; tumbuh sumburnya partai politik baru, memerdekaan mengeluarkan pendapat atau berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi, ternyata belum mampu menunjukkan kerangka kuat dalam mewujudkan kemapanan budaya demokrasi,”. Maka, untuk menghindarkan nasib bangsa ini kehilangan subtasnsinya sebuah gerakan berkelanjutan dalam menumbuhkan dan menyuburkan kesadaran politik masyarakat, utamanya pemilih pemula menjadi sebuah jawaban. Sehingga dalam menentukan pilihan politik tidak lagi berdasar informasi yang terbatas, faktor impression (keterkesanan) semata dan kriteria yang tidak rasional dalam mengevaluasi parpol atau politisi. Tapi berdasar analisis kemanfaatan (rasional) untuk meretas kebaikan hidup bersama,”
Tujuan gerakan pemilih cerdas sendiri menginginkan terbangunnya opini serta kesadaran pemilih, terutama pemilih pemula. Perlunya memilih kontestan Pileg atau Pilpres 2009 yang memiliki platform dan program yang jelas dan terukur. Dan tak kalah penting meningkatnya partisipasi politik pemilih, terutama pemula dalam Pemilu 2009 nanti.
Himpunan Mahasiswa Islam mungkin hanya segelintir komponen bangsa ini yang menginginkan adanya perubahan. Sebab ternyata bagi saya esensi pemilih cerdas adalah sebuah keniscayaan perubahan bangsa Indonesia. Dengan menjadi cerdas, masyarakat akan tahu apa yang dipilihnya. Dengan menjadi cerdas masyarakat tak mudah untuk dibekali dengan janji-janji semu belaka. Dengan menjadi cerdas masyarakat lebih dapat mengontrol jalannya pemerintahan di Republik ini. Hanya dengan menjadi cerdas bangsa ini dapat berubah.Apapun hasil yang didapat dalam pemilu 2009 harus terlebih dahulu melalui proses pencerdasan kepada masyaraat Indonesia. Cerdas sekarang atau kita pertaruhkan lagi nasib bangsa ini lima tahun kedepan????
*) KABID PPD HMI Cabang Kupang 08/09